Kamis, 17 Juli 2014

Pintau : Yang Terlupakan

Aku yakin pasti sebagian besar dari kalian masih menerka-nerka apa itu Pintau? Wajar saja sih, soalnya salah satu puncak dari Gunung Sibayak ini bahkan masih asing juga di telinga para pendaki gunung yang padahal mendaki gunung adalah kegemarannya. Seharusnya mereka mengenal tempat itu, bukan? Tapi itulah realita pahit mengenai Pintau yang terlupakan tersebut.

Pintau (Puncak Pintau) sendiri berada di ketinggian ±2200 mdpl, yang mana membuatnya menjadi puncak tertinggi di komplek Gunung Sibayak. Sekalipun gunung yang terletak di Kabupaten Karo, Sumatera Utara ini dikategorikan gunung yang cocok untuk pendaki pemula karena memiliki jalur pariwisata, namun bagiku, khusus untuk Pintau bukanlah tempat yang bersahabat untuk mereka yang amatir dalam hal seperti ini. Jalur pariwisata yang disediakan pemerintah kabupaten hanya mampu menjangkau hingga ke kawah Sibayak saja. Sedangkan untuk ke Pintau, kita harus mendaki lagi. Nah, jalur yang harus kita tempuh dari kawah tersebutlah yang justru cukup sulit untuk pemula.

Jalurnya berupa kolaborasi antara suasana hutan hujan tropis, semak belukar, dan bebatuan. Kontur tanahnya juga rawan ambles. Pendaki harus ekstra hati-hati karenanya. Ditambah lagi hutannya juga tergolong masih perawan. Suasana rimbanya masih sangat kental. Kita hurus memusatkan perhatian mencari setiap penanda agar kita tidak tersesat. Tak jarang kita harus merangkak melewati akar dan memanjat patahan yang kemiringannya bisa mencapai 90  ͦ. Dan sekali lagi aku tekankan, hal tersebut kita hadapi dengan kondisi tanah yang rawan ambles ya.

Tidak hanya itu, pendaki yang ingin mencoba menaklukan Pintau juga harus berperang melawan cuaca. Cuaca disana sangat labil, tidak bisa diprediksi. Rute perjalanan yang sebenarnya singkat bisa ditempuh berhari hari lamanya hanya karena hal tersebut. Sebab kalau hujan, jangan sekali-kali memberanikan diri untuk tetap melanjutkan perjalanan ke atas. Sangat berbahaya. Kita bisa saja terperosok ke jurang yang selalu berada disisi jalur kita. Belum lagi kabut tebal bakalan sering menutupi jalur. Jika kabut sudah turun, sebaiknya menunggu saja hingga kabutnya hilang. Karena faktanya, penyebab utama hilangnya pendaki saat pendakian adalah karena terlalu memaksakan diri.

Terlepas dari itu semua, bagi seorang pendaki sepeti aku justru tantangan itulah yang memaksaku untuk tetap mendaki kesana terus. Namun sayangnya, para pendaki lain kurang sependapat denganku. Bagi mereka Pintau bukanlah destinasi yang menarik seperti Gunung Sinabung. Ya, aku memang mengakui Sinabung adalah gunung yang hebat. Gunung yang juga merupakan tetangga Gunung Sibayak ini memang menawarkan pesona alam yang lebih luar biasa dari Pintau. Namun ntah mengapa aku tak menganggap mendaki ke Puncak Sinabung adalah sebuah pendakian. Aku hanya menanggapnya hanya seperti tur ekowisata. Maaf maaf saja ya. Soalnya jalurnya begitu jelas. Kita tak perlu ambil pusing memikirkan resiko kita untuk tersesat disana. Jadi mau bagaimanapun indahnya panorama dipuncaknya, hatiku tetap tidak begitu bergetar mengingat upaya kesana tidaklah sulit sulit banget. Berbeda dengan Pintau,  aku selalu menitikkan air mata haru-ku setiap kali aku mampu menginjakkan kaki kaki lelah-ku disana.

Tapi itulah realita saat ini. Pintau hanya sekedar menjadi percakapan, bukan tindakan. Pintau telah terlupakan. Aku harap untuk yang bukan pendaki, mulailah mengenal kegiatan ini. Cari gunung gunung yang tergolong mudah untuk pemula, cintailah kegiatan ini, dan kemudian tulislah kata “Pintau” menjadi salah satu destinasi kamu berikutnya. Sedangkan untuk teman teman sesama pendaki, hey! Masih ada sebuah tempat kecil di ketinggian ±2200 mdpl disana yang kini terkujur kaku, rindu akan doa manis kita, air mata haru kita, serta sentuhan hangat tangan tangan kita di ubun ubun dingin-nya.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar