Senin, 20 Januari 2014

Kliping Orde Baru

Tugas Sejarah



KLIPING ERA ORDE BARU




D
I
S
U
S
U
N

Oleh:







Nama                           : Denis Muba P. Simanihuruk
Kelas                            : XII IPA 2


SMAN 15 Medan
TP 2013/2014

1.   Asal Bapak Senang

Pemerintahan Orde Baru adalah salah satu contoh organisasi tua di negeri kita. Meskipun pergantian kabinet dilakukan setiap 5 tahun sekali, namun beberapa struktur di dalamnya tidak berubah bahkan sendi utama dalam organisasi tersebut, yakni Pak Harto yang menjabat sebagai sebagai presiden Republik Indonesia. Maka kiranya, tak salah jika kita anggap kabinet-kabinet dalam 7 periode pemerintahan Pak Harto ini sebagai sebuah kesatuan organisasi yang utuh dengan satu visi sama, mencapai kesejahteraan masyarakat Indonesia ala Orde Baru. 

Namun, ternyata keadaan seperti ini memunculkan sesuatu yang semestinya tidak terjadi dalam pemerintahan, apalagi negara kita terhitung masih berusia belia. Yakni seperti dikutip dari wikipedia.org: “menurunnya kualitas birokrasi Indonesia yang terjangkit penyakit Asal Bapak Senang, hal ini merupakan kesalahan paling fatal Orde Baru karena tanpa birokrasi yang efektif sebuah negara pasti hancur”.

Istilah “Asal Bapak Senang” atau disingkat ABS ini mengacu pada hubungan politik Pak Harto dengan para menteri dan bawahan-bawahannya. Perbedaan usia yang makin lama makin signifikan antara Pak Harto dan bawahannya inilah pemicunya. Mungkin di awal kepemimpinan Pak Harto, hubungan keduanya berjalan harmonis seperti sahabat dekat karena tidak ada jelang usia yang cukup kentara. Yakni pada Kabinet Pembangunan I dan II, perbedaan usia hanya beberapa tahun saja.

Berjalan selama 32 tahun, hanya Pak Harto dan sebagian kecil orang yang bertahan dalam struktur pemerintahan Orde Baru. Jika sang pemimpin bertambah umurnya 32 tahun, kemudian para menterinya masih muda-muda, jarak usia antara mereka akan jauh sekali. Karena itu, hubungan presiden dengan para menterinya tidak lagi sebagai sahabat dekat dan sebaya. Ada kecenderungan para menteri melihat beliau sebagai seorang pemimpin yang perlu diladeni. Singkatnya, lahir semacam sikap ABS tersebut di kalangan orang-orang yang seharusnya dekat dengan Pak Harto. Hal ini, menurut Emil Salim, Menteri Lingkungan Hidup pada masa Orde Baru, adalah yang terkadang menyebabkan Pak Harto tidak mendapatkan the full truth (kebenaran yang penuh) mengenai keadaan yang terjadi.

Pada suatu ketika, Pak Harto menyampaikan pidato dalam sidang DPR agar pemerintah tidak melakukan devaluasi rupiah. Saat itu, masalah devaluasi menjadi masalah politik negeri. Jadi, persoalan tersebut beliau sampaikan dalam salah satu pidato politiknya. Namun, beberapa bulan kemudian, keadaan ekonomi dunia berubah.

Karena perubahan itu, devisa turun dan neraca pembayaran pun menjadi tidak seimbang alias berkurang. Akibatnya, nilai rupiah lebih rendah terhadap dolar AS dan orang-orang akan berbondong-bondong membeli dolar dengan rupiah. Kalang kabutlah pemerintahan Indonesia. Untuk itu devaluasi harus dilakukan, tapi celakanya pihak pemerintah yang berwenang tidak berani melakukannya karena janji presiden untuk tidak melakukan devaluasi pada  sidang DPR silam. Di sisi lain, mereka berpendapat jika tetap diteruskan seperti ini, babak belurlah negara Indonesia.

Maka dari itu, mereka memutuskan untuk menghadap Pak Harto mengenai persoalan ini. Mereka menjelaskan semuanya, termasuk pilihan-pilihan kebijakan yang ada. Mereka berkata bahwa salah satu pilihannya adalah devaluasi. 

Kemudian beliau bertanya, ''Mengapa begini?"

Mereka menjawab, ''Untuk devaluasi, masalahnya karena Bapak beberapa waktu lalu yang menjanjikan secara resmi kepada DPR untuk tidak mendevaluasi.”

''Lho, apa hanya karena saya berjanji, lantas negara jadi korban? Ya, tidak bisa begitu," tutur Pak Harto kemudian.

Pak Harto juga menyatakan bahwa jika beliau keliru, wajib untuk memberitahukan kekeliruan sekecil apapun itu kepada beliau. Dari sini bisa dilihat bahwa Pak Harto mengambil keputusan berdasarkan informasi yang diterima dari para menteri dan aparat pemerintah lainnya. Jika informasi yang disampaikan salah atau tidak lengkap, keputusan yang diambil juga jadi salah.

Struktur pemerintahan pada zaman itu tertata rapi di awal, namun semakin lama semakin rapuh dan salah kaprah. Antara lain disebabkan karena adanya budaya ABS di kalangan “pembantu-pembantu” presiden dalam memegang tampuk pemerintahan negara. Jika ada masalah, baik itu di dalam maupun luar negeri, terkadang pemaparannya tidak lengkap serta kurang jujur dan pengusulan langkah-langkah kebijakan pun sangat kurang. Padahal masalah yang dihadapi Pak Harto sangatlah banyak baik itu dari dalam maupun luar negeri. Sendirian berjuang adalah hal yang mustahil bisa dilakukan dengan maksimal. Sehingga, informasi-informasi yang diberikan oleh para menteri sangat vital artinya bagi Pak Harto dalam memecahkan masalah negeri.

Di akhir-akhir masa Orde Baru, hal-hal kecil seperti ini banyak terjadi. Para menteri sering tidak lengkap dalam memaparkan masalah yang harus diselesaikan. Langkah-langkah yang diambil kebanyakan berorientasi pada pemikiran jangka pendek. Dalam penyampaiannya, persoalan jangka panjang seolah-olah terdesak oleh kepentingan jangka pendek. Hal ini menyebabkan, kabar-kabar yang sampai di meja presiden terpengaruh oleh menteri yang lebih melihat  satu kepentingan jangka pendek, pandangannya sendiri, dan kepentingan kelompoknya. Akhirnya, kepentingan jangka panjang dan rakyat dikesampingkan. Dan berubahlah peta pengambilan keputusan itu.

Menjadi pembantu presiden itu seharusnya bersikap jujur, mampu memberikan semua pilihan, tidak main politik sendiri, dan tidak “buang badan” jika terjadi sesuatu.

Namun, yang terjadi di akhir-akhir masa Orde Baru adalah sebaliknya. Saat perekonomian Indonesia mulai tampak jatuh dan krisis semakin merajalela, banyak  menteri yang mengundurkan diri dengan hanya memikirkan keselamatan diri dan keluarganya. Sungguh naif, negeri saat itu sedang dalam masa kritisnya, namun siapa peduli? Menteri-menteri itu malah pergi mengurusi dirinya sendiri. Bahkan Pak Harto pun mengundurkan diri dan menunjuk B.J. Habibie yang saat itu menjadi wapres untuk menggantikan posisinya. 

Pak Habibie mewarisi kondisi kacau balau pasca pengunduran diri Pak Harto akibat salah urus pada masa Orde Baru. Keran kebebasan dibuka. Semua orang boleh berbicara. Demokrasi yang sesungguhnya untuk Indonesia telah diterapkan oleh Pak Habibie. Namun, yang terjadi adalah protes, kecaman, dan ancaman rakyat kepada pemerintah bermunculan di setiap sudut negeri. Hingga puncaknya pada tuntutan reformasi tahun 1998 yang menandakan berakhirnya masa Orde Baru dalam sejarah negara Republik Indonesia.

Kesimpulannya, kepemimpinan yang terlalu lama menyimpan kelebihan dan kekurangannya sendiri. Dan dalam kasus Pak Harto, kekurangan memenangkan laga dalam mempertahankan Indonesia Sang Macan Asia. Segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik, seperti yang telah difirmankan oleh-Nya dalam Al-Qur’an Al-Karim. Oleh karena itu, sungguh bijak jika kita mengambil hikmah dari sejarah tersebut. Seperti yang dilakukan oleh Pak Habibie sekaligus  dalam menjawab tuntutan reformasi. Yakni dengan dibuatnya Tap MPR No. XIII/MPR/1998, tentang Pembatasan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden maksimal hanya dua kali periode.

2.   Macan Asia

Indonesia Macan Asia dibawah pemerintahan Soeharto dimata Lee Kwan Yew, Perdana Menteri Singapura 1959-1990:

Saya pertama kali bertemu dengan Presiden Soeharto pada bulan September 1970, pada Pertemuan Tingkat Tinggi Gerakan Non-Blok di Lusaka. Pertemuan ini terjadi setelah adanya konfrontasi, dan masih adanya kecurigaan di antara kami saat itu. Kami berbicara sekitar 30 menit di villa Soeharto mengenai perkembangan regional, dan saat itu kami banyak menemukan kesepahaman pandangan.
Hari itu merupakan pertama dari serangkaian pertemuan – hampir selalu “empat mata” – dimana kami bertukar jaminan tentang niat baik dan keinginan untuk Asia Tenggara yang stabil dan makmur. Kemudian pada pertemuan selanjutnya di tingkat yang lebih akrab membahas isu-isu penting. Waktu demi waktu, kami membangun hubungan dan persahabatan yang erat dan bertahan hingga lebih dari 30 tahun. Itu menjadi landasan kerja sama erat antara Indonesia dan Singapura di tahun-tahun selanjutnya.

Tidak seperti pendahulunya, Soekarno, dalam bertindak Soeharto selalu penuh pertimbangan dan pemikiran. Namun, di balik sikap diamnya, dia adalah seorang yang tegas dan mempunyai keteguhan untuk menyatukan 120 juta rakyat Indonesia – saat itu – dari himpitan ekonomi yang terjadi setelah 20 tahun terabaikan. Pada pertemuan kami selama bertahun-tahun itu, Soeharto telah membuktikan bahwa dirinya adalah seorang yang dapat dipercaya. Dia membuat sedikit janji, namun ketika dia melakukannya, dia tetap memegang janjinya. Kekuatannya adalah kekonsistenan dia, yang juga diwujudkan dengan mengejar serangkaian kebijakan rasional untuk membuka ekonomi Indonesia terhadap perdagangan dan modal asing.

Soeharto adalah orang yang berpikiran lurus dalam memberikan jaminan kalau rakyatnya cukup untuk sandang dan pangan. Demikian, dia telah banyak mencapai pertumbuhan yang stabil untuk Indonesia tahun demi tahun.

Soeharto merupakan orang yang objektif dan pragmatis. Dirinya bukanlah seorang intelektual, namun Soeharto memiliki ketajaman untuk menunjukan sebuah tim yang terdiri dari atas para ekonom dan penyelengggara pemerintahan yang mampu membuat kebangkitan Indonesia menjadi salah satu Macan Asia di era 1990-an.

Dengan kejernihan pikirannya juga, Soeharto memilih untuk memandu jalan baru untuk hubungan Indonesia dengan Singapura.  Soeharto mengakui bahwa Singapura memiliki kekuatan tertentu yang dapat membantu perkembangan ekonomi Indonesia. Ketika dia mengunjungi Singapura 1974, dia mengumumkan bahwa pemerintah Indonesia akan mengundang bantuan-bantuan teknis asing dan para penanam modal asing ke Indonesia, termasuk dari Singapura. Hal ini merupkan perubahan yang sangat fundamental dalam kebijakannya terhadap Singapura, dibandingkan dengan sikap agresif Indonesia dalam era konfrontasi dulu.

Di luar isu-isu bilateral, Soeharto dan saya juga bekerjasama dengan erat dalam banyak hal. Ketika Phnom Penh dan Saigon jatuh pada tahun 1975, kelihatannya gelombang komunis akan menelan seluruh Asia Tenggara. Beberapa negara regional buru-buru mengakui Indochina (yaitu pemerintahan komunis Vietnam dan Khmer Merah di Kamboja) dan membuat penawaran terhadap Bejing untuk menghadapi prospek ini. Namun saya ingat, Soeharto memberitahu saya di Bali pada tahun 1975, bahwa jika ASEAN melanjutkan kebijakan yang berbeda terhadap persoalan Indochina, tekad kita untuk menentang komunis akan remuk. Indonesia dan Singapura memegang teguh dan berdiri erat bersama dalam masalah ini.

Soeharto menciptakan suatu era stabilitas dan kemajuan di Indonesia. Hal ini membangkitkan kembali keyakinan internasional di wilayah kita, dan membuatnya menjadi aktraktif untuk investasi asing serta mendorong kegiatan ekonomi. Pada saat itu, perkembangan ekonomi penting untuk menjaga wilayah ini dari ketidak puasan dalam negeri yang dapat mendorong terciptanya pro-komunis

Soeharto juga berperan penting dalam sukses ASEAN. Sebagai negara terbesar di Asia Tenggara, Indonesia secara alamiah mempunyai makna strategis. Di bawah Soeharto, Indonesia tidak bersikap seperti sebuah negara hegemoni. Indonesia tidak berkeras terhadap pandangan dirinya sendiri, tetapi juga mempertimbangkan kepentingan-kepentingan negara lain dalam ASEAN. Sikap ini membuat Indonesia diterima oleh anggota ASEAN lain sebagai first among equals, atau terutama diantara yang sederajat, dan memungkinkan ASEAN berkonsulidasi di tengah saat-saat yang tidak menentu dan bergejolak.

Hanya tinggal beberapa orang yang masih segenerasi dengan saya, yang dapat mengingat kacaunya perekonomian Indonesia ketika Soeharto memulai tugasnya sebagai pemimpin Indonesia. Soeharto telah merubah Indonesia yang miskin menjadi Macan Ekonomi baru, mendidik rakyatnya, dan membangun infrastruktur yang mempelancar pembanguan Indonesia yang berkesinambungan. Tindakan Soeharto merupakan sumbangan yang signifikan untuk menuju stabilitas dan pembangunan regional. Saya memutuskan untuk mengujungi Soeharto di rumah sakit beberapa saat sebelum beliau meninggal dunia pada Januari 2008. Saya ingin menghormatinya sebagai seorang sahabat lama dan rekan yang tangguh. Soeharto layak mendapatkan pengakuan atas konstribusi hidupnya terhadap Indonesia dan dunia luar. 

3.   Lagu Kemesraan

Lagu “Kemesraan” merupakan sebuah lagu yang mengkritik pemerintahan pada masa itu. Akibatnya, lagu inipun mendapat banyak kecaman dari pihak pemerintah, karena dianggap mengancam stabilitas nasional. Kenapa? Berikut ilustrasi dari masa kini yang kurang lebih mampu menggambarkan kondisi pada saat itu, yakni pada masa orde baru.
Tanpa sembunyi-sembunyi, Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie bertemu dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pada sore yang agak cerah, Selasa (8/3/2011), kemarin, keduanya bertemu di Istana Negara, Jakarta.

Pertemuan tersebut, yang ditunggui pers hingga selesai, berlangsung setelah hampir dua pekan terjadi gonjang-ganjing koalisi dan reshuffle kabinet. Isu hendak dijungkalkannya Golkar dan PKS yang mbalelo dari Setgab Koalisi menguat.

Pernyataan-pernyataan bermuculan, tidak terkecuali dari kedua pentolan partai besar itu. SBY mengatakan, memang ada satu dua partai yang tidak selaras dengan 11 traktat perjanjian Koalisi, makanya dia mengingatkan. Dalam waktu tidak lama, ia juga akan melakukan evaluasi terhadap keberadaan setgab.

Begitu pula Aburizal Bakrie. Pada awalnya, Ical tetap kukuh bahwa partai beringin tidak akan cabut dari koalisi, apapun yang terjadi. Belakangan, ia mengatakan, bila Golkar membuat partai lain tidak nyaman, partai warisan orde baru ini siap berdiri di luar pagar koalisi. Golkar sudah kenyang dengan kekuasaan.

Kalangan politisi PD dan Golkar di tingkat menengah ke bawah pun tidak mau ketinggalan. Bahkan suaranya lebih nyaring dibanding bos masing-masing. Bahkan, pada hari yang sama ketika SBY-Ical bertemu pun politikus baru PD Ulil Absar Abdala mendesak Golkar dan PKS legowo keluar dari koalisi. Keberadaan kedua partai ini membuat SBY terbelenggu.

Kita tentu juga masih ingat suara lantang yang dilontarkan politikus Golkar Bambang Soesatyo dkk di DPR. Ketika pimpinannya ngomong tetap akan berkoalisi dengan Pemerintahan SBY-Boediono, ia dengan berani mengatakan Golkar siap menjadi oposan penguasa. Kader Golkar di bawah, katanya, menuntut agar menteri beringin ditarik dari kabinet.

Namun, apapun yang telah terjadi, berikut reaksi-reaksi dari kalangan pengamat yang mencermati panggung politik akhir-akhir ini, jawaban itu datang juga. Keluar dari sedan Lexus mewahnya, serta berbatik warna putih gading, Ical berjalan dengan tenang masuk ke dalam Istana menemui SBY.

Satu jam kemudian… “Ada sepakat untuk memperbaiki koalisi menjadi lebih baik. Iya, kita bersama di koalisi,” ucap Ical saat mengungkapkan hasil pertemuannya dengan SBY tersebut. Ical menegaskan, PD dan Golkar tetap berkomitmen untuk membangun koalisi.

Kini terang sudah, Golkar dan PD tetap akan berkoalisi. Keduanya enggan buru-buru untuk mengakhiri hubungan dekat, meski selalu diwarnai dengan pertentangan-pertentangan di dalamnya. Tinggal menunggu kejelasan nasib PKS yang kini masih menggantung.

Entah apa yang terjadi sesungguhnya di dalam pertemuan antara SBY dengan Ical tersebut. Maksudnya tawar-menawar antara keduanya. Namun, barangkali SBY dan Ical sama-sama membayangkan lirik lagu berjudul “Kemesraan” ketika saling bernegosiasi politik.

Kemesraan ini, janganlah cepat berlalu….
Hatiku damai. Jiwaku tenteram di sampingmu…

4.   Kronis

Bicara ideologi, agaknya marak lagi sekarang. Khususnya bagi negara kita yang sedang terombang-ambing, dalam pencariannya menggapai “mitos kesejahteraan” itu. Sempat diramalkan oleh Daniel Bell (The End of Ideology) sekitar tahun 60-an, bahwa sudah khatam (selesai) jika manusia (negara-negara) masih berbicara ideologi. Sebab berhasilnya liberalisme-kapitalisme menjadi pemenang melumpuhkan komunisme. Namun ternyata varian-varian kecil “anak-anak ideologi” sungguh bertebaran saat ini, yang bersifat transnasional. Bagi Huntington, Islam konsisten sebagai ideologi. Begitu juga bagi Fukuyama yang istiqomah mengatakan jika abad 21 akan dimenangkan oleh kapitalisme-liberalisme. Bagaimana dengan ideologi yang menjadi “anak kandung” bangsa ini yang bernama Pancasila?

Masa Orde Lama perkara revolusi, nasionalisme (sempit), patriotisme dan semangat kejuangan lagi subur-suburnya untuk dipupuk terus. Maklum bangsa ini baru saja mencicipi rasa kemerdekaan. Figur pemimpin revolusioner yang selalu tampil berapi-api di depan jutaan rakyat, sanggup menjadi “mistik” dalam menarik semangat juang rakyat. Soekarno menjawab kehausan akan kegagahan, ketegasan dan keberanian tersebut. Pancasila disebut terlahir dari pikiran beliau (1 Juni 1945) secara genuine. Sempat terlupakan peranan Soepomo dan Yamin. Tapi cukuplah ideologi Pancasila paling sempurna di antara pertarungan dua ideologi besar dunia lainnya (Liberalisme dan Komunisme). Sakralisasi bahkan mistifikasi Pancasila mulai berakar dengan simbolisasi pada personal Soekarno. Pancasila berhasil dipersonifikasi.

Beralih masa Orde Baru, sakralisasi ditambah mistifikasi ideologi terus berlanjut bahkan dengan gas yang makin tinggi. Faktor tragedi “penggulingan ideologi” oleh Partai Komunis Indonesia” terhadap Pancasila serasa sangat pas dan momentum yang tepat bagi mistifikasi itu. Lahirlah kemudian 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Ideologi bangsa ini terbukti tangguh dan tak tergores setitikpun oleh “kuku-kuku komunis” yang tajam. Sang Presiden seakan mendapat angin sejuk. Kembali kepada Pancasila dan UUD 1945 menjadi sihir mujarab, agar rakyat patuh dan taat pada reinkarnasi “Satrio Piningit” ini. Bagi yang tak sejalan dengannya, tak pelak cap sebagai kelompok radikal atau ekstrem dengan mudah ditempel. Kelompok Islam yang mempertahankan “ideologi kesilamannya” dilabeli sebagai “ekstrem kanan”. Sedang yang percaya diri dengan kekomunisannya dicap sebagai “ekstrem kiri”. Inilah politisasi ideologi yang terjadi.

Sosialisai ideologi berjalan secara massif. BP-7 melalui program P-4 berhasil menciptakan kader-kader ideologis (Pancasila). Walaupun berupa indoktrinasi, namun ideologisasi ini sanggup menenangkan berbagai wabah “ideologi alien” tadi yang tak boleh menghirup udara Indonesia. Pendidikan di sekolah pun dijadikan sebagai alat kekuasaan negara, untuk mempancasilakan para generasi bangsa. Sesuai yang dikatakan oleh Antonio Gramsci , bahwa pendidikan dijadikan sebagai instrumen hegemoni penguasa. Hegemoni negara melalui Pancasila berhasil dilakukan. Terjadilan “penfasiran tunggal” terhadap Pancasila secara otoriter oleh negara. Interpretasi monolitik ini menciptakan generasi bangsa agar mengimplementasikan “akhlak atau moral Pancasila”. Semua itu dilakukan melalui pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP), yang kemudian diganti menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn).

Kita sepakat bahwa negara ini dengan tekad bulat dan final menganut Pancasila sebagai ideologi. MPR saat ini menggalakkan (lagi) pengenalan 4 (empat) Pilar (teringat P-4 Orba) yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai produk konsensus bangsa Indonesia yang telah final dan tak akan dipertentangkan lagi. Empat pilar filosofis-kebangsaan ini telah menjadi karakteristik bangsa Indonesia dari bangsa lain. Pancasila meminjam istilah Cak Nur adalah “kalimatun sawa” atau common standing bangsa Indonesia yang dikonstruksi dari sejarah, politik, sosial dan kebudayaan bangsa. Pancasila tidak secara ekslusif melulu inward looking tetapi sanggup hidup bersama ideologi-ideologi besar dunia lainnya (outward looking). Bahkan negara-negara modern saat ini mengakui Pancasila sebagai karya ideologis bangsa Indonesia, yang tak dimiliki bangsa lain, dengan nilai-nilai humanitas, demokrasi, persatuan, keadilan dan religiusitasnya. Inilah gentelment agreement yang berhasil dikreasikan oleh para founding fathers kita selama ini.

Pasca Orde Baru tumbang, ideologisasi Pancasila (baik secara formal maupun kultural) tersisihkan begitu saja. BP-7 dan P-4 dibubarkan dan dihilangkan. Ideologisasi sepenuhnya diserahkan kepada pendidikan dalam kurikulum pendidikan nasional. Perubahan PPKn menjadi Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), mulai tahun 2006 (ketika berlakunya Kurikulum Berbasis Kompetensi-KBK) sampai kurikulum KTSP sekarang. Muatan pelajaran PKn yang membahas sekitar materi ideologi, Pancasila, negara-bangsa, hak asasi manusia (HAM), sistem dan budaya politik, konstitusi, sistem hukum nasional, tata negara, hubungan internasional, hukum internasional, demokrasi, globalisasi, kebebasan pers sampai kepada masyarakat madani. Mulai dari tingkat dasar (SD) sampai kepada perguruan tinggi, PKn menjadi mata pelajaran wajib untuk dipelajari. Secara normatif-kurikulum, jelas materi-materi yang termuat dan diajarkan di sekolah-sekolah sampai perguruan tinggi ini ideal bagi terbentuknya karakter kebangsaan bagi generasi bangsa (nation and character building). Asalkan tidak diberikan dengan model indoktrinasi, namun lebih kepada suasana dialogis-terbuka antara guru dan siswa.

Secara formal Pancasila menjadi macan ideologi bangsa. Tapi dalam praktik apalagi bicara politik dan ekonomi sekarang, sungguh “jauh panggang dari api”. Bukan politik yang berpancasila yang dipakai. Bukan pula ekonomi kerakyatan atau ekonomi Pancasila yang digunakan. Para elit-pemimpin republik ini sedang terjangkit penyakit “rabun Pancasila” kronis. Ditambah aksi-aksi kekerasan, teror bom, radikalisme dan fundamentalisme (agama) yang marak terjadi. Momentum kasus-kasus NII yang secara ideologi vis a vis bertentangan dengan Pancasila seakan ada alasannya, bahwa pertanyaan ideologi Pancasila ada dimana saat ini? Dialog-dialog para pemikir di berbagai media membuat tag line “Merindukan Pancasila” ada benarnya. Selama ini Pancasila sekedar menjadi jargon kampanye politik. Pancasila didestorsi menjadi alat politik yang kotor. Bagaimana treatment yang efektif dan menjadi solusi cerdas agar deradikalisasi bisa terwujud? 

Bagi saya ada dua jawabannya. Pertama, tentu dengan pendidikan yang mencerdaskan, memerdekakan dan mencerahkan. Secara filosofis tak hanya tanggung jawab guru PKn, untuk mendidik agar siswa menjadi toleran, anti kekerasan, berwatak multikultural, menghargai perbedaan atau pluralis dan cinta perdamaian. Butuh reinterpretasi Pancasila tentunya agar terus hidup dalam masyarakat, karena dia adalah “life ideology”. Negara tidak harus lagi melakukan politisasi ideologi dengan model penafsiran tunggal terhadap Pancasila. Kedua, yaitu berikanlah teladan dan contoh yang baik (uswah hasanah), sikap yang benar dari para pemimpin, penguasa dan para elit, sesuai dengan filosofi Pancasila itu. Jangan lagi menjadikan Pancasila sebagai alat kampanye politik. Rakyat sangat hasu akan teladan yang baik dari para pemimpin negeri. Jika teladan yang baik ini tak kunjung diberikan, jangan terkejut jika rakyat akan terus mencari “alternatif-alternatif ideologi”, yang bagi mereka tak ada jurang pemisah antara pernyataan-konsep (das sollen) dengan kenyataan-praktik dalam kehidupan (das sein). Jangan sampai ini terjadi.
 


Share:
Lokasi: Medan, North Sumatra, Indonesia

0 komentar:

Posting Komentar