Tugas Sejarah
KLIPING ERA ORDE BARU
D
I
S
U
S
U
N
Oleh:
Nama :
Denis Muba P. Simanihuruk
Kelas :
XII IPA 2
SMAN 15 Medan
TP 2013/2014
1. Asal
Bapak Senang
Pemerintahan
Orde Baru adalah salah satu contoh organisasi tua di negeri kita. Meskipun
pergantian kabinet dilakukan setiap 5 tahun sekali, namun beberapa struktur di
dalamnya tidak berubah bahkan sendi utama dalam organisasi tersebut, yakni Pak
Harto yang menjabat sebagai sebagai presiden Republik Indonesia. Maka kiranya,
tak salah jika kita anggap kabinet-kabinet dalam 7 periode pemerintahan Pak
Harto ini sebagai sebuah kesatuan organisasi yang utuh dengan satu visi sama,
mencapai kesejahteraan masyarakat Indonesia ala Orde Baru.
Namun,
ternyata keadaan seperti ini memunculkan sesuatu yang semestinya tidak terjadi
dalam pemerintahan, apalagi negara kita terhitung masih berusia belia. Yakni
seperti dikutip dari wikipedia.org: “menurunnya kualitas birokrasi Indonesia yang
terjangkit penyakit Asal Bapak Senang, hal ini merupakan kesalahan paling fatal
Orde Baru karena tanpa birokrasi yang efektif sebuah negara pasti hancur”.
Istilah
“Asal Bapak Senang” atau disingkat ABS ini mengacu pada hubungan politik Pak
Harto dengan para menteri dan bawahan-bawahannya. Perbedaan usia yang makin
lama makin signifikan antara Pak Harto dan bawahannya inilah pemicunya. Mungkin
di awal kepemimpinan Pak Harto, hubungan keduanya berjalan harmonis seperti
sahabat dekat karena tidak ada jelang usia yang cukup kentara. Yakni pada
Kabinet Pembangunan I dan II, perbedaan usia hanya beberapa tahun saja.
Berjalan
selama 32 tahun, hanya Pak Harto dan sebagian kecil orang yang bertahan dalam
struktur pemerintahan Orde Baru. Jika sang pemimpin bertambah umurnya 32 tahun,
kemudian para menterinya masih muda-muda, jarak usia antara mereka akan jauh
sekali. Karena itu, hubungan presiden dengan para menterinya tidak lagi sebagai
sahabat dekat dan sebaya. Ada
kecenderungan para menteri melihat beliau sebagai seorang pemimpin yang perlu
diladeni. Singkatnya, lahir semacam sikap ABS tersebut di kalangan orang-orang
yang seharusnya dekat dengan Pak Harto. Hal ini, menurut Emil Salim, Menteri
Lingkungan Hidup pada masa Orde Baru, adalah yang terkadang menyebabkan Pak
Harto tidak mendapatkan the full truth (kebenaran yang penuh) mengenai
keadaan yang terjadi.
Pada
suatu ketika, Pak Harto menyampaikan pidato dalam sidang DPR agar pemerintah
tidak melakukan devaluasi rupiah. Saat itu, masalah devaluasi menjadi masalah
politik negeri. Jadi, persoalan tersebut beliau sampaikan dalam salah satu
pidato politiknya. Namun, beberapa bulan kemudian, keadaan ekonomi dunia
berubah.
Karena
perubahan itu, devisa turun dan neraca pembayaran pun menjadi tidak seimbang
alias berkurang. Akibatnya, nilai rupiah lebih rendah terhadap dolar AS dan
orang-orang akan berbondong-bondong membeli dolar dengan rupiah. Kalang
kabutlah pemerintahan Indonesia.
Untuk itu devaluasi harus dilakukan, tapi celakanya pihak pemerintah yang
berwenang tidak berani melakukannya karena janji presiden untuk tidak melakukan
devaluasi pada sidang DPR silam. Di sisi lain, mereka berpendapat jika
tetap diteruskan seperti ini, babak belurlah negara Indonesia.
Maka
dari itu, mereka memutuskan untuk menghadap Pak Harto mengenai persoalan ini.
Mereka menjelaskan semuanya, termasuk pilihan-pilihan kebijakan yang ada.
Mereka berkata bahwa salah satu pilihannya adalah devaluasi.
Kemudian
beliau bertanya, ''Mengapa begini?"
Mereka
menjawab, ''Untuk devaluasi, masalahnya karena Bapak beberapa waktu lalu yang
menjanjikan secara resmi kepada DPR untuk tidak mendevaluasi.”
''Lho,
apa hanya karena saya berjanji, lantas negara jadi korban? Ya, tidak bisa
begitu," tutur Pak Harto kemudian.
Pak
Harto juga menyatakan bahwa jika beliau keliru, wajib untuk memberitahukan
kekeliruan sekecil apapun itu kepada beliau. Dari sini bisa dilihat bahwa Pak
Harto mengambil keputusan berdasarkan informasi yang diterima dari para menteri
dan aparat pemerintah lainnya. Jika informasi yang disampaikan salah atau tidak
lengkap, keputusan yang diambil juga jadi salah.
Struktur
pemerintahan pada zaman itu tertata rapi di awal, namun semakin lama semakin
rapuh dan salah kaprah. Antara lain disebabkan karena adanya budaya ABS di
kalangan “pembantu-pembantu” presiden dalam memegang tampuk pemerintahan
negara. Jika ada masalah, baik itu di dalam maupun luar negeri, terkadang
pemaparannya tidak lengkap serta kurang jujur dan pengusulan langkah-langkah
kebijakan pun sangat kurang. Padahal masalah yang dihadapi Pak Harto sangatlah
banyak baik itu dari dalam maupun luar negeri. Sendirian berjuang adalah hal
yang mustahil bisa dilakukan dengan maksimal. Sehingga, informasi-informasi
yang diberikan oleh para menteri sangat vital artinya bagi Pak Harto dalam
memecahkan masalah negeri.
Di
akhir-akhir masa Orde Baru, hal-hal kecil seperti ini banyak terjadi. Para menteri sering tidak lengkap dalam memaparkan
masalah yang harus diselesaikan. Langkah-langkah yang diambil kebanyakan
berorientasi pada pemikiran jangka pendek. Dalam penyampaiannya, persoalan
jangka panjang seolah-olah terdesak oleh kepentingan jangka pendek. Hal ini
menyebabkan, kabar-kabar yang sampai di meja presiden terpengaruh oleh menteri
yang lebih melihat satu kepentingan jangka pendek, pandangannya sendiri,
dan kepentingan kelompoknya. Akhirnya, kepentingan jangka panjang dan rakyat
dikesampingkan. Dan berubahlah peta pengambilan keputusan itu.
Menjadi
pembantu presiden itu seharusnya bersikap jujur, mampu memberikan semua
pilihan, tidak main politik sendiri, dan tidak “buang badan” jika terjadi
sesuatu.
Namun,
yang terjadi di akhir-akhir masa Orde Baru adalah sebaliknya. Saat perekonomian
Indonesia
mulai tampak jatuh dan krisis semakin merajalela, banyak menteri yang
mengundurkan diri dengan hanya memikirkan keselamatan diri dan keluarganya.
Sungguh naif, negeri saat itu sedang dalam masa kritisnya, namun siapa peduli?
Menteri-menteri itu malah pergi mengurusi dirinya sendiri. Bahkan Pak Harto pun
mengundurkan diri dan menunjuk B.J. Habibie yang saat itu menjadi wapres untuk
menggantikan posisinya.
Pak
Habibie mewarisi kondisi kacau balau pasca pengunduran diri Pak Harto akibat
salah urus pada masa Orde Baru. Keran kebebasan dibuka. Semua orang boleh
berbicara. Demokrasi yang sesungguhnya untuk Indonesia telah diterapkan oleh Pak
Habibie. Namun, yang terjadi adalah protes, kecaman, dan ancaman rakyat kepada
pemerintah bermunculan di setiap sudut negeri. Hingga puncaknya pada tuntutan
reformasi tahun 1998 yang menandakan berakhirnya masa Orde Baru dalam sejarah
negara Republik Indonesia.
Kesimpulannya,
kepemimpinan yang terlalu lama menyimpan kelebihan dan kekurangannya sendiri.
Dan dalam kasus Pak Harto, kekurangan memenangkan laga dalam mempertahankan
Indonesia Sang Macan Asia. Segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik,
seperti yang telah difirmankan oleh-Nya dalam Al-Qur’an Al-Karim. Oleh karena
itu, sungguh bijak jika kita mengambil hikmah dari sejarah tersebut. Seperti
yang dilakukan oleh Pak Habibie sekaligus dalam menjawab tuntutan
reformasi. Yakni dengan dibuatnya Tap MPR No. XIII/MPR/1998, tentang Pembatasan
masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden maksimal hanya dua kali periode.
2.
Macan Asia
Indonesia
Macan Asia dibawah pemerintahan Soeharto dimata Lee Kwan Yew, Perdana Menteri
Singapura 1959-1990:
Saya pertama kali bertemu dengan
Presiden Soeharto pada bulan September 1970, pada Pertemuan Tingkat Tinggi
Gerakan Non-Blok di Lusaka. Pertemuan ini terjadi setelah adanya konfrontasi,
dan masih adanya kecurigaan di antara kami saat itu. Kami berbicara sekitar 30
menit di villa Soeharto mengenai perkembangan regional, dan saat itu kami
banyak menemukan kesepahaman pandangan.
Hari itu merupakan pertama dari
serangkaian pertemuan – hampir selalu “empat mata” – dimana kami bertukar
jaminan tentang niat baik dan keinginan untuk Asia Tenggara yang stabil dan makmur.
Kemudian pada pertemuan selanjutnya di tingkat yang lebih akrab membahas
isu-isu penting. Waktu demi waktu, kami membangun hubungan dan persahabatan
yang erat dan bertahan hingga lebih dari 30 tahun. Itu menjadi landasan kerja
sama erat antara Indonesia
dan Singapura di tahun-tahun selanjutnya.
Tidak seperti pendahulunya, Soekarno,
dalam bertindak Soeharto selalu penuh pertimbangan dan pemikiran. Namun, di
balik sikap diamnya, dia adalah seorang yang tegas dan mempunyai keteguhan
untuk menyatukan 120 juta rakyat Indonesia – saat itu – dari himpitan ekonomi
yang terjadi setelah 20 tahun terabaikan. Pada pertemuan kami selama
bertahun-tahun itu, Soeharto telah membuktikan bahwa dirinya adalah seorang
yang dapat dipercaya. Dia membuat sedikit janji, namun ketika dia melakukannya,
dia tetap memegang janjinya. Kekuatannya adalah kekonsistenan dia, yang juga
diwujudkan dengan mengejar serangkaian kebijakan rasional untuk membuka ekonomi
Indonesia
terhadap perdagangan dan modal asing.
Soeharto adalah orang yang berpikiran
lurus dalam memberikan jaminan kalau rakyatnya cukup untuk sandang dan pangan.
Demikian, dia telah banyak mencapai pertumbuhan yang stabil untuk Indonesia tahun
demi tahun.
Soeharto
merupakan orang yang objektif dan pragmatis. Dirinya bukanlah seorang
intelektual, namun Soeharto memiliki ketajaman untuk menunjukan sebuah tim yang
terdiri dari atas para ekonom dan penyelengggara pemerintahan yang mampu
membuat kebangkitan Indonesia
menjadi salah satu Macan Asia di era 1990-an.
Dengan kejernihan pikirannya juga,
Soeharto memilih untuk memandu jalan baru untuk hubungan Indonesia
dengan Singapura. Soeharto mengakui bahwa Singapura memiliki kekuatan
tertentu yang dapat membantu perkembangan ekonomi Indonesia. Ketika dia mengunjungi
Singapura 1974, dia mengumumkan bahwa pemerintah Indonesia
akan mengundang bantuan-bantuan teknis asing dan para penanam modal asing ke Indonesia,
termasuk dari Singapura. Hal ini merupkan perubahan yang sangat fundamental
dalam kebijakannya terhadap Singapura, dibandingkan dengan sikap agresif Indonesia dalam
era konfrontasi dulu.
Di luar isu-isu bilateral, Soeharto dan
saya juga bekerjasama dengan erat dalam banyak hal. Ketika Phnom Penh dan Saigon jatuh pada tahun 1975, kelihatannya gelombang
komunis akan menelan seluruh Asia Tenggara. Beberapa negara regional buru-buru
mengakui Indochina (yaitu pemerintahan komunis Vietnam dan Khmer Merah di Kamboja)
dan membuat penawaran terhadap Bejing untuk menghadapi prospek ini. Namun saya
ingat, Soeharto memberitahu saya di Bali pada tahun 1975, bahwa jika ASEAN
melanjutkan kebijakan yang berbeda terhadap persoalan Indochina, tekad kita
untuk menentang komunis akan remuk. Indonesia dan Singapura memegang
teguh dan berdiri erat bersama dalam masalah ini.
Soeharto menciptakan suatu era
stabilitas dan kemajuan di Indonesia.
Hal ini membangkitkan kembali keyakinan internasional di wilayah kita, dan
membuatnya menjadi aktraktif untuk investasi asing serta mendorong kegiatan
ekonomi. Pada saat itu, perkembangan ekonomi penting untuk menjaga wilayah ini
dari ketidak puasan dalam negeri yang dapat mendorong terciptanya pro-komunis
Soeharto juga berperan penting dalam
sukses ASEAN. Sebagai negara terbesar di Asia Tenggara, Indonesia
secara alamiah mempunyai makna strategis. Di bawah Soeharto, Indonesia
tidak bersikap seperti sebuah negara hegemoni. Indonesia tidak berkeras terhadap
pandangan dirinya sendiri, tetapi juga mempertimbangkan kepentingan-kepentingan
negara lain dalam ASEAN. Sikap ini membuat Indonesia diterima oleh anggota
ASEAN lain sebagai first among
equals,
atau terutama diantara yang sederajat, dan memungkinkan ASEAN berkonsulidasi di
tengah saat-saat yang tidak menentu dan bergejolak.
Hanya tinggal beberapa orang yang masih
segenerasi dengan saya, yang dapat mengingat kacaunya perekonomian Indonesia ketika Soeharto memulai tugasnya
sebagai pemimpin Indonesia.
Soeharto telah merubah Indonesia
yang miskin menjadi Macan Ekonomi baru, mendidik rakyatnya, dan membangun
infrastruktur yang mempelancar pembanguan Indonesia yang berkesinambungan.
Tindakan Soeharto merupakan sumbangan yang signifikan untuk menuju stabilitas
dan pembangunan regional. Saya memutuskan untuk mengujungi Soeharto di rumah
sakit beberapa saat sebelum beliau meninggal dunia pada Januari 2008. Saya
ingin menghormatinya sebagai seorang sahabat lama dan rekan yang tangguh.
Soeharto layak mendapatkan pengakuan atas konstribusi hidupnya terhadap Indonesia
dan dunia luar.
3. Lagu
Kemesraan
Lagu “Kemesraan” merupakan sebuah lagu
yang mengkritik pemerintahan pada masa itu. Akibatnya, lagu inipun mendapat
banyak kecaman dari pihak pemerintah, karena dianggap mengancam stabilitas
nasional. Kenapa? Berikut ilustrasi dari masa kini yang kurang lebih mampu
menggambarkan kondisi pada saat itu, yakni pada masa orde baru.
Tanpa sembunyi-sembunyi, Ketua Umum
Partai Golkar Aburizal Bakrie bertemu dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY). Pada sore yang agak cerah, Selasa (8/3/2011), kemarin, keduanya bertemu
di Istana Negara, Jakarta.
Pertemuan tersebut, yang ditunggui pers
hingga selesai, berlangsung setelah hampir dua pekan terjadi gonjang-ganjing
koalisi dan reshuffle kabinet. Isu hendak dijungkalkannya Golkar dan PKS yang
mbalelo dari Setgab Koalisi menguat.
Pernyataan-pernyataan bermuculan, tidak
terkecuali dari kedua pentolan partai besar itu. SBY mengatakan, memang ada
satu dua partai yang tidak selaras dengan 11 traktat perjanjian Koalisi,
makanya dia mengingatkan. Dalam waktu tidak lama, ia juga akan melakukan
evaluasi terhadap keberadaan setgab.
Begitu pula Aburizal Bakrie. Pada
awalnya, Ical tetap kukuh bahwa partai beringin tidak akan cabut dari koalisi,
apapun yang terjadi. Belakangan, ia mengatakan, bila Golkar membuat partai lain
tidak nyaman, partai warisan orde baru ini siap berdiri di luar pagar koalisi.
Golkar sudah kenyang dengan kekuasaan.
Kalangan politisi PD dan Golkar di
tingkat menengah ke bawah pun tidak mau ketinggalan. Bahkan suaranya lebih
nyaring dibanding bos masing-masing. Bahkan, pada hari yang sama ketika
SBY-Ical bertemu pun politikus baru PD Ulil Absar Abdala mendesak Golkar dan
PKS legowo keluar dari koalisi. Keberadaan kedua partai ini membuat SBY
terbelenggu.
Kita tentu juga masih ingat suara
lantang yang dilontarkan politikus Golkar Bambang Soesatyo dkk di DPR. Ketika
pimpinannya ngomong tetap akan berkoalisi dengan Pemerintahan SBY-Boediono, ia
dengan berani mengatakan Golkar siap menjadi oposan penguasa. Kader Golkar di
bawah, katanya, menuntut agar menteri beringin ditarik dari kabinet.
Namun, apapun yang telah terjadi,
berikut reaksi-reaksi dari kalangan pengamat yang mencermati panggung politik
akhir-akhir ini, jawaban itu datang juga. Keluar dari sedan Lexus mewahnya,
serta berbatik warna putih gading, Ical berjalan dengan tenang masuk ke dalam
Istana menemui SBY.
Satu jam kemudian… “Ada sepakat untuk memperbaiki koalisi menjadi
lebih baik. Iya, kita bersama di koalisi,” ucap Ical saat mengungkapkan hasil
pertemuannya dengan SBY tersebut. Ical menegaskan, PD dan Golkar tetap
berkomitmen untuk membangun koalisi.
Kini terang sudah, Golkar dan PD tetap
akan berkoalisi. Keduanya enggan buru-buru untuk mengakhiri hubungan dekat,
meski selalu diwarnai dengan pertentangan-pertentangan di dalamnya. Tinggal
menunggu kejelasan nasib PKS yang kini masih menggantung.
Entah apa yang terjadi sesungguhnya di
dalam pertemuan antara SBY dengan Ical tersebut. Maksudnya tawar-menawar antara
keduanya. Namun, barangkali SBY dan Ical sama-sama membayangkan lirik lagu
berjudul “Kemesraan” ketika saling bernegosiasi politik.
Kemesraan ini, janganlah cepat
berlalu….
Hatiku damai. Jiwaku tenteram di
sampingmu…
4. Kronis
Bicara ideologi, agaknya marak lagi
sekarang. Khususnya bagi negara kita yang sedang terombang-ambing, dalam
pencariannya menggapai “mitos kesejahteraan” itu. Sempat diramalkan oleh Daniel
Bell (The End of Ideology) sekitar tahun 60-an, bahwa
sudah khatam (selesai) jika manusia (negara-negara)
masih berbicara ideologi. Sebab berhasilnya liberalisme-kapitalisme menjadi
pemenang melumpuhkan komunisme. Namun ternyata varian-varian kecil “anak-anak
ideologi” sungguh bertebaran saat ini, yang bersifat transnasional. Bagi
Huntington, Islam konsisten sebagai ideologi. Begitu juga bagi Fukuyama yang istiqomah
mengatakan jika abad 21 akan dimenangkan oleh kapitalisme-liberalisme.
Bagaimana dengan ideologi yang menjadi “anak kandung” bangsa ini yang bernama
Pancasila?
Masa Orde Lama perkara revolusi,
nasionalisme (sempit), patriotisme dan semangat kejuangan lagi subur-suburnya
untuk dipupuk terus. Maklum bangsa ini baru saja mencicipi rasa kemerdekaan.
Figur pemimpin revolusioner yang selalu tampil berapi-api di depan jutaan
rakyat, sanggup menjadi “mistik” dalam menarik semangat juang rakyat. Soekarno
menjawab kehausan akan kegagahan, ketegasan dan keberanian tersebut. Pancasila
disebut terlahir dari pikiran beliau (1 Juni 1945) secara genuine.
Sempat terlupakan peranan Soepomo dan Yamin. Tapi cukuplah ideologi Pancasila
paling sempurna di antara pertarungan dua ideologi besar dunia lainnya
(Liberalisme dan Komunisme). Sakralisasi bahkan mistifikasi Pancasila mulai
berakar dengan simbolisasi pada personal Soekarno. Pancasila berhasil
dipersonifikasi.
Beralih masa Orde Baru, sakralisasi
ditambah mistifikasi ideologi terus berlanjut bahkan dengan gas yang makin
tinggi. Faktor tragedi “penggulingan ideologi” oleh Partai Komunis Indonesia”
terhadap Pancasila serasa sangat pas dan momentum yang tepat bagi mistifikasi
itu. Lahirlah kemudian 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Ideologi
bangsa ini terbukti tangguh dan tak tergores setitikpun oleh “kuku-kuku
komunis” yang tajam. Sang Presiden seakan mendapat angin sejuk. Kembali kepada
Pancasila dan UUD 1945 menjadi sihir mujarab, agar rakyat patuh dan taat pada
reinkarnasi “Satrio Piningit” ini. Bagi yang tak sejalan dengannya, tak pelak
cap sebagai kelompok radikal atau ekstrem dengan mudah ditempel. Kelompok Islam
yang mempertahankan “ideologi kesilamannya” dilabeli sebagai “ekstrem kanan”.
Sedang yang percaya diri dengan kekomunisannya dicap sebagai “ekstrem kiri”.
Inilah politisasi ideologi yang terjadi.
Sosialisai ideologi berjalan secara
massif. BP-7 melalui program P-4 berhasil menciptakan kader-kader ideologis
(Pancasila). Walaupun berupa indoktrinasi, namun ideologisasi ini sanggup
menenangkan berbagai wabah “ideologi alien” tadi yang tak boleh menghirup udara
Indonesia.
Pendidikan di sekolah pun dijadikan sebagai alat kekuasaan negara, untuk
mempancasilakan para generasi bangsa. Sesuai yang dikatakan oleh Antonio
Gramsci , bahwa pendidikan dijadikan sebagai instrumen hegemoni penguasa.
Hegemoni negara melalui Pancasila berhasil dilakukan. Terjadilan “penfasiran
tunggal” terhadap Pancasila secara otoriter oleh negara. Interpretasi monolitik
ini menciptakan generasi bangsa agar mengimplementasikan “akhlak atau moral
Pancasila”. Semua itu dilakukan melalui pelajaran Pendidikan Moral Pancasila
(PMP), yang kemudian diganti menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
(PPKn).
Kita sepakat bahwa negara ini dengan
tekad bulat dan final menganut Pancasila sebagai ideologi. MPR saat ini
menggalakkan (lagi) pengenalan 4 (empat) Pilar (teringat P-4 Orba) yakni
Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai produk konsensus
bangsa Indonesia
yang telah final dan tak akan dipertentangkan lagi. Empat pilar
filosofis-kebangsaan ini telah menjadi karakteristik bangsa Indonesia dari
bangsa lain. Pancasila meminjam istilah Cak Nur adalah “kalimatun
sawa” atau common standing bangsa Indonesia yang
dikonstruksi dari sejarah, politik, sosial dan kebudayaan bangsa. Pancasila
tidak secara ekslusif melulu inward looking tetapi
sanggup hidup bersama ideologi-ideologi besar dunia lainnya (outward
looking). Bahkan negara-negara modern saat ini mengakui Pancasila
sebagai karya ideologis bangsa Indonesia,
yang tak dimiliki bangsa lain, dengan nilai-nilai humanitas, demokrasi,
persatuan, keadilan dan religiusitasnya. Inilah gentelment
agreement yang berhasil dikreasikan oleh para founding
fathers kita selama ini.
Pasca Orde Baru tumbang, ideologisasi
Pancasila (baik secara formal maupun kultural) tersisihkan begitu saja. BP-7
dan P-4 dibubarkan dan dihilangkan. Ideologisasi sepenuhnya diserahkan kepada
pendidikan dalam kurikulum pendidikan nasional. Perubahan PPKn menjadi
Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), mulai tahun 2006 (ketika berlakunya Kurikulum
Berbasis Kompetensi-KBK) sampai kurikulum KTSP sekarang. Muatan pelajaran PKn
yang membahas sekitar materi ideologi, Pancasila, negara-bangsa, hak asasi
manusia (HAM), sistem dan budaya politik, konstitusi, sistem hukum nasional,
tata negara, hubungan internasional, hukum internasional, demokrasi,
globalisasi, kebebasan pers sampai kepada masyarakat madani. Mulai dari tingkat
dasar (SD) sampai kepada perguruan tinggi, PKn menjadi mata pelajaran wajib
untuk dipelajari. Secara normatif-kurikulum, jelas materi-materi yang termuat
dan diajarkan di sekolah-sekolah sampai perguruan tinggi ini ideal bagi
terbentuknya karakter kebangsaan bagi generasi bangsa (nation
and character building). Asalkan tidak diberikan dengan model
indoktrinasi, namun lebih kepada suasana dialogis-terbuka antara guru dan
siswa.
Secara formal Pancasila menjadi macan
ideologi bangsa. Tapi dalam praktik apalagi bicara politik dan ekonomi
sekarang, sungguh “jauh panggang dari api”. Bukan politik yang berpancasila
yang dipakai. Bukan pula ekonomi kerakyatan atau ekonomi Pancasila yang
digunakan. Para elit-pemimpin republik ini
sedang terjangkit penyakit “rabun Pancasila” kronis. Ditambah aksi-aksi
kekerasan, teror bom, radikalisme dan fundamentalisme (agama) yang marak
terjadi. Momentum kasus-kasus NII yang secara ideologi vis
a vis bertentangan dengan Pancasila seakan ada alasannya, bahwa
pertanyaan ideologi Pancasila ada dimana saat ini? Dialog-dialog para pemikir
di berbagai media membuat tag line “Merindukan
Pancasila” ada benarnya. Selama ini Pancasila sekedar menjadi jargon kampanye
politik. Pancasila didestorsi menjadi alat politik yang kotor. Bagaimana treatment
yang efektif dan menjadi solusi cerdas agar deradikalisasi bisa terwujud?
Bagi saya ada dua jawabannya. Pertama,
tentu dengan pendidikan yang mencerdaskan, memerdekakan dan mencerahkan. Secara
filosofis tak hanya tanggung jawab guru PKn, untuk mendidik agar siswa menjadi
toleran, anti kekerasan, berwatak multikultural, menghargai perbedaan atau
pluralis dan cinta perdamaian. Butuh reinterpretasi Pancasila tentunya agar terus
hidup dalam masyarakat, karena dia adalah “life ideology”. Negara
tidak harus lagi melakukan politisasi ideologi dengan model penafsiran tunggal
terhadap Pancasila. Kedua, yaitu berikanlah
teladan dan contoh yang baik (uswah hasanah), sikap yang
benar dari para pemimpin, penguasa dan para elit, sesuai dengan filosofi
Pancasila itu. Jangan lagi menjadikan Pancasila sebagai alat kampanye politik.
Rakyat sangat hasu akan teladan yang baik dari para pemimpin negeri. Jika
teladan yang baik ini tak kunjung diberikan, jangan terkejut jika rakyat akan
terus mencari “alternatif-alternatif ideologi”, yang bagi mereka tak ada jurang
pemisah antara pernyataan-konsep (das sollen) dengan
kenyataan-praktik dalam kehidupan (das sein). Jangan sampai
ini terjadi.
0 komentar:
Posting Komentar