Siang itu adalah siang yang gelap di kota Bogor. Aku
berjalan mengintari kampus mencoba mencari sesuatu untuk ditertawakan. Namun yang
kutemukan hanyalah keramaian. Hiruk pikuk warga Dramaga di daerah yang biasa
disebut Bara siang itu menggangguku. Aku merasa telingaku berdengung, suara
mereka pun jadi terdengar sayup, dan perlahan menghilang hingga tiba tiba
suara melengking datang menyiksa seiisi kepalaku. Aku tak tahan dengan
semua ini. Aku pun memejamkan mata berharap semuanya segera berakhir. Namun
semuanya sia sia.
Dalam keaadan mata tertutup, aku berlari hingga akhirnya
aku bisa mendengar lagi. Pelahan aku membuka mata, aku telah berada di sebuah
tempat yang lumrah disebut Jembatan Merah. Aku sendiri bingung kenapa aku bisa
berada disana mengingat daerah itu berada jauh dari kampus. Disana suasananya tak
kalah ramai tetapi cenderung tenang. Orang orang berinteraksi dengan senyum dan
tawa. Aku merasa sangat tentram melihat semua itu dan aku pun mencoba membaur
dengan mereka.
Disalah-satu bagian jembatan ada seorang kakek tua yang
menjajakan tangannya untuk dijual. Kulihat kulit terbakarnya seolah ingin
berteriak mengetahui tak ada sekeping recehan pun yang jatuh ke telapak tangan
pria malang itu. Aku merasa kasihan. Aku merogoh kantong celana jeans biru tua
yang sengaja kusobek sobek pada bagian lututnya ini berusaha menemukan sesuatu
untuk kuberikan. Aku menemukan logam seribu rupiah-an dua keping, dan aku
memutuskan untuk memberikan kepada pria itu satu keping dan menyimpan satu
keping lainnya.
Aku melanjutkan perjalananku hingga aku telah tiba di
ujung jembatan. Dari seberang jalan, aku melihat seorang gadis cantik tersenyum
ke arahku. Aku terkejut setelah menyadari
dia adalah dia – orang orang tak perlu tahu siapa dia bagi hatiku – dan
itu membuat tubuhku terkujur kaku. Namun dia menghampiriku.
Dia mengucapkan salam pembuka yang terlalu manis,
membuatku semakin keringat dingin saja. Dia menggengam tanganku. Dia meremasnya
kuat dan tersenyum dengan sangat manis sembari memiringkan kepalanya dan itu
memberikan kesan centil bagiku. Aku merasa dia sangat – aku tak mampu
menjelaskannya – dan itu membuatku semakin mematung saja.
Dia tiba tiba sedikit menjinjit. Aku bingung apa yang mau
dia lakukan. Namun aku hanya diam tanpa tanggapan dan menunggu. Dia mengecup
lembut keningku yang penuh pelu ini. Ada sesuatu yang menjalar di sekujur
tubuhku dan aku tak tahu apa itu. Aku
merasa dia sangat... cantik. Aku merasa dia melakukan itu semua dengan
tulus. Dia pun kembali ke posisi semula kemudian bergegas pergi tanpa mengucap
sepatah katapun. Setelah dia berjalan beberapa langkah, akupun memberanikan
diri memanggil namanya, namun dia sama sekali tak menoleh ke arahku, tetap
berjalan lurus dan kemudian menghilang bersama seorang pria yang telah menunggunya
disana.
Aku memang merasa senang seketika itu, namun semuanya
kalah dengan rasa kecewa dan kesalku. Kenapa dia melakukan semua itu jika dia
hanya ingin pergi dan tak ingin berhubungan lebih lanjut denganku? Dia
melakukan itu seolah olah dia sedang tak memiliki siapa siapa saat ini dan
tentu saja aku ingin memiliki dia. Tapi, ternyata semua itu hanya kesan. Memang
kesan itu sangat sering mengecoh, terutama untuk orang selembut aku. Bahkan
mungkin kalau aku tidak melihat kesan yang dibuat pria pengemis tua yang tadi
kujumpa dijalan itu – dengan kulit terbakar dan tangannya yang terus meminta
namun tangan tersebut tak kunjung terisi oleh kepingan receh – aku tak akan
merasa kasihan kepadanya dan tidak akan memberikan recehanku tentunya. Namun
aku pikir lagi, itu adalah dua hal yang sangat berbeda. Tentu pengemis itu
benar benar sedang dalam keadaan seperti yang di-kesan-kan-nya itu. Sedangkan
dia? Dia hanya iseng.
Akhirnya aku pun memutuskan untuk pulang kembali ke asrama. Di perjalanan aku kembali melintasi pria pengemis itu dan alangkah terkejutnya aku bahwa tangannya telah kembali kosong. Kemana uang yang baru saja kuberikan? Apa dia juga sengaja menciptakan kesan agar orang merasa kasihan kepadaya? Saat itu aku dongkol mengetahui semua orang di dunia ini berusaha menciptakan kesan, bersembunyi dibalik topeng kejam itu, mengatur seperti apa dia ingin dilihat orang, tidak menjadi dirinya sendiri. Ah, aku memang tak pernah mengerti dunia. Dunia selalu bergerak lebih cepat daripada aku. Saat itu tiba tiba saja telingaku kembali berdengung dan membuat kepalaku lagi lagi pusing. Namun kali ini aku membiarkannya. Lebih baik seperti ini. Aku tak lagi memejamkan mataku. Aku tak lagi berlari. Sebab aku merasa hanya dalam kondisi seperti inilah aku tak mampu berkonsentrasi menyaksikan semua kesan kesan yang mereka buat.
Akhirnya aku pun memutuskan untuk pulang kembali ke asrama. Di perjalanan aku kembali melintasi pria pengemis itu dan alangkah terkejutnya aku bahwa tangannya telah kembali kosong. Kemana uang yang baru saja kuberikan? Apa dia juga sengaja menciptakan kesan agar orang merasa kasihan kepadaya? Saat itu aku dongkol mengetahui semua orang di dunia ini berusaha menciptakan kesan, bersembunyi dibalik topeng kejam itu, mengatur seperti apa dia ingin dilihat orang, tidak menjadi dirinya sendiri. Ah, aku memang tak pernah mengerti dunia. Dunia selalu bergerak lebih cepat daripada aku. Saat itu tiba tiba saja telingaku kembali berdengung dan membuat kepalaku lagi lagi pusing. Namun kali ini aku membiarkannya. Lebih baik seperti ini. Aku tak lagi memejamkan mataku. Aku tak lagi berlari. Sebab aku merasa hanya dalam kondisi seperti inilah aku tak mampu berkonsentrasi menyaksikan semua kesan kesan yang mereka buat.
Aku setuju. Emg banyak tuh manusia manusia yg hobinya sembunyi dibalik topeng.
BalasHapus