untuk Adinda Namira
Di suatu malam yang dingin, ada seorang anak perempuan yang berusaha terlelap dalam titik titik hujan yang menghantam bumi dengan derasnya. Namun, ia masih saja tetap terjaga. Matanya yang lelah tak kunjung jua melembekkan keras jiwanya yang takut akan hal hal berbau malam.
Ia membulak balikkan badannya mencari posisi ternyaman bagi tubuhnya, namun tetap saja sia sia. Ia pun menyerah. Kini, matanya hanya memandang kosong pada satu satunya benda bercahaya di kamar yang kelam itu, lilin kecil yang hampir habis.
Tiba tiba, ia mendengar sesuatu yang menghantam jendela secara berulang. Ia tak berani menoleh mencari tahu. Ia hanya menarik selimut kumelnya lebih tinggi hingga ke lehernya, sambil memejamkan mata dengan sangat erat, dan menyumbal telinganya dengan jemari jemari gemetarnya. Namun sekali lagi, usahanya sia sia.
Ia masih saja tak mampu menyingkirkan suara itu dari benaknya. Ia berdiam sejenak, sembari mengumpulkan sedikit keberanian yang masih ada di jiwanya. Ia pun menoleh perlahan ke arah jendela tersebut, dan terkejut sekaligus tersenyum tenang melihat si sumber suara yang ternyata hanya seekor kunang kunang yang mencoba menjaga sayapnya tetap kering di tengan hujan deras seperti itu.
Si anak perempuan pun beranjak dari tempat tidurnya dan mendekati si kunang kunang. Bertepatan dengan itu, sang lilin kecil pun menyudahi dirinya menerangi ruangan itu. Kini ruangan itu gelap. Namun si anak perempuan tetap tenang, karena ia masih mampu melihat cahaya kecil si kunang kunang tesebut.
Ia membukakan jendela tua itu, dan mempersilahkan si kunang kunang masuk. Si kunang kunang pun dengan cepatnya terbang ke arah tempat tidur, dan bersembunyi ketakutan di balik selimut.
"Hei, apa kamu baik baik saja?", kata si anak perempuan mencoba meyakinkan si kunang kunang bahwa ia tak akan menyakitinya.
"Hei. Um, iya. Aku gak apa kok", jawab si kunang kunang pelan.
"Kamu kenapa menghantam jendelaku berulang kali? Apa kamu tidak kesakitan?", tanya si anak perempuan sembari mencoba duduk di tempat tidur tersebut.
"Sakit? Hahaha. Um, sedikit sih. Cuma dari pada aku mati kedinginan di luar sana kan?", jawabnya sambil mencoba menjauh dari si anak perempuan tersebut.
"Hey, sini. Jangan takut. Aku tak akan menyakitimu. Umurmu kan cuma 24 jam. Itu sudah sangat singkat dan aku tak ingin mempersingkatnya lagi.", balasnya dengan hiasan sepercik senyuman di wajahnya.
"Um, oke oke", jawabnya mulai percaya.
Si kunang kunang pun mulai mendekati si anak perempuan. Si anak perempuan menjulurkan tangannya ke arah si kunang kunang, dan si kunang kunang pun hinggap disana. Ia mulai merasa nyaman berada di dekat si anak perempuan. Si anak perempuan pun tersenyum dengan sangat tulus.
"Kamu, kenapa jam segini masih bangun?", tanya si kunang kunang membuka kembali pembicaraan.
"Aku takut, aku takut dengan hujan", jawab si anak perempuan
"Kenapa?", tanya si kunang kunang.
"Karena hujan telah membawa kesayanganku pergi dari hidupku.", jawab si anak perempuan singkat.
"Loh, memang siapa kesayanganmu?", tanya si kunang kunang lagi.
"Matahari! Kini yang mampu kurasakan hanyalah dingin, basah.", jawab si anak perempuan sambil mulai menitikkan air mata. "Aku tak lagi memiliki siapa siapa kini, aku sendiri."
Melihat itu, si kunang kunang pun turut merasakan kesedihan yang dirasakan si anak perempuan. Dia sebenarnya tak tahu harus berkata apa. Namun, hatinya mengatakan bahwa ia harus mengembalikan keceriaan si anak perempuan itu, bagaimana pun caranya. Ia pun saat itu juga merasakan keanehan hatinya yang bisa begitu egois terhadap pikirannya, meskipun ia tidak tahu kenapa. Mungkin itu karena si kunang kunang merasakan kenyamanan dan kehangatan dalam perkenalan singkatnya dengan anak perempuan itu.
"Aku mau menjadi satu satunya yang senantiasa menyinari wajah pucatmu, aku mau menjadi satu satunya yang membuatmu hanya bisa merasakan kehangatan meskipun hujan datang menghampirimu, aku mau menjadi mataharimu.", katanya tiba tiba dengan wajah yakin.
"Aku mau menjadi satu satunya yang senantiasa menyinari wajah pucatmu, aku mau menjadi satu satunya yang membuatmu hanya bisa merasakan kehangatan meskipun hujan datang menghampirimu, aku mau menjadi mataharimu.", katanya tiba tiba dengan wajah yakin.
Mendengar itu, senyuman indah si anak perempuan itupun perlahan mulai kembali, tapi belum sepenuhnya. "Bagaimana dengan kegelapan?", katanya.
"Kegelapan? Aku tak pernah mengkuatirkannya. Aku bahkan tak mengenalnya.", jawab si kunang kunang mulai terhanyut dalam suasana.
"Tapi dia selalu menyusup ke dalam tidurku, ke dalam mimpiku.", sambung si anak perempuan.
"Dia tak akan bisa melakukan apa apa tehadapmu, selama ada aku", balas si kunang kunang.
"Tapi kau harus tahu, bayang bayang kegelapan itu semakin lama semakin dalam, seolah siap menerkamku", kata si anak perempuan itu lagi.
"Hanya seolah kok, dia bahkan tak bisa menyentuhmu. Percayalah!", jawab si kunang kunang mencoba meyakinkan.
"Tapi bagaimana jika itu terjadi?", kata si anak perempuan dengan ragu.
"Aku akan tenggelam di kegelapan itu, bersamamu.", jawab si kunang kunang.
"Benarkah?", tanya si anak perempuan.
"Kau tak perlu meragukanku.", jawab si kunang kunang singkat. "20 jam lebih aku berada di dunia ini, aku telah bertemu banyak makhluk yang tak pernah membuatku merasa nyaman dengan apa yang mereka sebut sebagai cinta. Hingga kini aku hampir mendekati ujung usiaku, dan aku rasa aku baru saja mengenalnya. Harmonisasi antara dinginnya hujan dan gelapnya malam telah menyadarkanku, bahwa kukira aku mencintaimu, wahai anak perempuan yang baru saja kujumpa. Dan kukira, harmonisasi itulah yang membuat cinta menjadi hanya sebuah kata yang terdiri dari huruf C,I,N,T,A, tidak lebih dan tidak kurang", panjangnya. "Aku tak tahu cinta yang kurasakan ini benar atau salah. Sebab aku hanyalah makhluk yang berumur satu hari dari seumur hidupmu."
"Cinta bukan membicarakan tentang benar atau salahnya, tetapi bagaimana akhir dari cerita cinta itu. Yang mana penentunya adalah kita, dua orang yang saling mencintai", jawab si anak perempuan dengan tersenyum.
"Kini aku sadar alasan Tuhan mengirimkanku ke dunia, yaitu untuk memastikan kau senantiasa bahagia.", balas si kunang kunang.
"Dan kini aku sadar kalau ternyata aku diciptakan untuk dibahagiakan oleh seorang pria kecil yang mencintaiku apa adanya, bukan ada apanya", kata si anak perempuan. "Karena bahagiaku akan senada dengan cintamu, seperti nafasku akan senada dengan hidupmu. Namun, aku takut aku akan mengecewakanmu", sambungnya.
"Kekecewaan tersebut masihlah belum sebanding dengan kebahagiaan yang kadapat saat melihatmu tersenyum di hari harimu", kata si kunang kunang.
"Aku berjanji tak akan mengecewakanmu.", balas si anak perempuan. Seiring dengan itu, hujan telah berhenti dan kegelapanpun telah terganti dengan cahaya dari matahari yang muncul gagah dari peraduannya. Saat yang telah dinantikan si anak perempuan itupun tiba. Kebahagiaan pun tak mampu disembunyikan dari wajahnya.
"Dan itulah alasan mengapa aku memilihmu", itulah kalimat terakhir yang sempat ia dengar dari si kunang kunang di akhir usianya. Ia tak lagi sedih. Ia akan senantiasa bahagia seumur hidupnya. Bahkan ia pun juga telah siap menghadapi banyak malam yang dingin dan gelap, karena kini ia telah memiliki mataharinya sendiri yang abadi, yang tak kan hilang saat hujan ataupun malam, meskipun ia tak bisa melihatnya lagi.
"Selamat tidur pria kecil, selamat tidur matahariku", ucapnya sambil menggenggam erat si kunang kunang yang jiwanya kini telah pergi menuju peraduan yang abadi, bersama dengan air mata bahagia si anak perempuan tersebut yang mengalir lembut dipipi putihnya.
agak jleb ya bacanya :')
BalasHapusberuntung banget dia yang dibikinin cerpen ini. cerpenya menyentuh banget soalnya :3
BalasHapuskunang kunang umurnya 24 jam ya? o.O
BalasHapusmantap sob, tissunya uda abis 4 lembar nih:3
BalasHapuskado valentine yg kece bingits XD
BalasHapus