Rabu, 26 Agustus 2015

Cinta di Langit Selatan

Kata orang ngga ada yang namanya cinta yang bikin sakit. Kalau sakit, bukan cinta namanya. Kata orang. Gue sampai sekarang masih ngga habis pikir dimana letak otak orang yang pertama kali mengatakan itu.

Coba lu mikir, disaat orang yang elu sayang membuat elu kuatir, dan dianya malah nyantai disaat elu uda kaya kebakaran jenggot, apa yang elu rasakan? Coba elu mikir disaat elu meminta dia untuk melakukan sesuatu untuk kebaikannya sendiri, dan dia ngga ngedengarin elu, apa yang elu rasakan? Sakit, kan?

Lantas, apa dengan elu merasa sakit seperti itu, berarti elu uda ngga cinta lagi sama dia? Men, percaya gue, cinta yang menyebabkan rasa sakit itu.

Kalau lu ngga cinta sama dia, lu mah pasti bodo amat, ngga bakal kuatirin dia sampai elunya bahkan merasa sakit. Kalau lu ngga cinta sama dia, jika ada sesuatu yang buruk terjadi terhadapnya, hidup lu bakal biasa aja, berjalan normal, tidak terusik sama sekali. Faktanya lu ngga bodo amat, dan hidup lu terusik. Lu jatuh cinta disaat yang bersamaan lu merasakan sakit.

Ini kisah sebenarnya tentang gue dan seseorang disana, yang jauh baik dalam perpektif jarak maupun paradigma waktu. Gue sayang banget sama dia, itu fakta. Gue sering banget sakit karena dia, itu juga fakta.

Jarak diantara kami membuat segalanya berjalan begitu sulit, segala hal terasa perlu untuk dikuatirkan, termasuk keberadaan cintanya yang bisa saja suatu saat tidak lagi disitu. Lantas kenapa gue ngga berhenti aja daripada gue selalu merasakan sakit yang seperti ini? Jawabannya sederhana banget. Karena gue cinta.

Cinta gue ke dia adalah cinta yang membuat gue kecanduan. Lu ngerti maksudnya kecanduan?

Gini deh, gue analogikan cinta gue kaya narkoba. Tau narkoba, kan?

Di suatu malam berbintang yang indah, di kereta listrik terakhir tujuan Bogor, gue berbincang dengan seorang cowo yang kebetulan juga menjadi satu-satunya penumpang di gerbong yang gue tempatin selain gue saat itu. Gue larut dalam percakapan hangat dengannya yang membuatnya mulai membuka sebagian kisah hidupnya. Ternyata dia mantan pengguna narkoba yang sudah pulih setelah melalui proses rehabilitasi berat. Gue pun bertanya kepada dia gimana rasanya kalau dia lagi sakau, dan dia bilang kalau sebenarnya tubuhnya itu menolak karena merasa tersiksa saat dia menelan pil-pil itu, tapi dia ngga bisa berhenti karena kalau dia berhenti, yang ada malah dia merasa seperti disilet-silet di sekujur tubuhnya.

Inti dari cerita itu apa? Gue kecanduan cinta dia. Gue tau kalau gue terus menikmati cintanya, gue bakal sakit. Namun disisi lain kalau gue melepasnya gue yakin gue bakal lebih merasa sakit lagi hingga bisa mati seperti pecandu yang sedang sakau itu.

Kini gue sadar kalau rasa sakit ternyata selalu mengiringi rasa cinta. Lantas, apa gue harus takut? Ngga. Gue ngga bakal takut kecanduan mencintai dia. Gue ingat pernah mengatakan sebuah kalimat yang mungkin saat itu terkesan bercanda karena gue ngga mau membuat dia kuatir disaat tangan gue kecucuk kawat besi, dan diapun tertawa mendengarnya. Gue mengatakan, "Lukanya ngga dalam, ngga lebar, ngga kaya cinta kita."

Gue selalu ingin bilang satu hal ke dia, "Lihatlah ke langit bagian selatan, cinta akan selalu disana." Langit itu adalah langit  yang gue tatap. Gue berharap sesekali dia juga menatap langit yang gue tatap.

Gue selalu ingin bilang ke dia, disaat dia bosan, disaat dia jenuh, lihatlah ke langit bagian selatan. Gue ada disana sedang berjuang untuknya. Gue selalu ingin bilang ke dia, disaat dia ingin berhenti dan mengakhiri semua ini, lihatlah ke langit bagian selatan. Gue tak akan menyerah untuknya.

Share:

0 komentar:

Posting Komentar