(Penting : Cerita ini sebenarnya uda aku lebih-lebihkan demi kepuasan pembaca blogku yang paling aku sayang. Kasus di cerita ini murni kesalahanku, dan apa yang pihak kampus lakukan kepadaku memang sangat pantas aku terima, dan untuk hal-hal seperti aku yang ngga kenal konselor aku, dan aku yang ngga tau IPTP itu dimana, itu juga bukan karna salah kampus yang seolah kurang sosialitatif. Akunya aja yang apatis, bego, idiot, keseringan (yu now wat ai min) di kamar. Buat mbak bidadari, mbak memang aku anggap kaya bidadari pas ngebuka pintu ruangan, soalnya kaki aku uda pegel banget mbak. Aku males pula duduk di lantai kaya yang lainnya. Aku ngga ada niat ngejelekin mbak, aku tau itu emang uda tugas mbak, dan terimakasih uda menegurku ya mbak. Lafya! Buat pembacaku yang kece abis, sekali lagi aku tekanin kalau semua kesalahan emang ada di aku ya. Aku cinta banget sama almamaterku!)
Pernah kebayang ngga kalau kalian bakalan dihukum hanya karena minum? Haha.
Kisah ini bermula di suatu pagi di Kampus IPB Dramaga, Kabupaten Bogor. Pagi itu begitu cerah, dengan langit biru memanjakan mata, dan kicau burung mententramkan telinga. Aku menggerakkan kaki-kaki malasku menuju CCR (Common Class Room), tempat kami para daun muda kuliah.
Begitu aku tiba disana, kulihat ruangan masih terkunci. Beberapa temanku pun mendadak terlihat seperti gembel karena duduk di lantai di depan kelas. Aku pun melihat mereka dengan tatapan menghina (gila, gua jahat banget), sambil mencari-cari WiFi CCR yang terkadang over-php.
Lama aku larut dalam aktivitasku hingga tiba-tiba saja perhatianku teralihkan oleh sesosok wanita anggun bak bidadari membawa kunci gerbang surga. Ya, wanita itu adalah petugas CCR. Akhirnya ruangan pun dibuka dan kami terselamatkan dari ancaman kegembelan permanen.
Begitu masuk ke dalam ruangan, aku terkejut melihat surgaku ternyata malah cenderung lebih layak disebut pasar (padahal emang tiap hari kaya gini sih). Aku menangis miris melihat teman-temanku pada jualan risol, lumpia, piscok, donat, dan martabak manis. Tunggu dulu, martabak manis? Itu salah satu camilan favoritku (colek Siti, Mbak Di, Rizky, dan Damer). Aku membelinya, aku memakannya. Aku menangis, namun aku memakannya. Aku memakannya dengan air mata. Fyi, aku beli martabaknya ngutang loh. Ya kan, Fid?
Aku pun melahap martabakku. Memang sih uda ngga hangat lagi, tapi tetap aja yang namanya juga uda cinta, lidahku pun buta karenanya. Aku mengecup martabak tersebut sambil memejamkan mata. Aku mengunyahnya lembut, dan aku menelan habis itu martabak. Aku bisa merasakan dia berjalan di tenggorokanku hingga turun ke lambung, mengelus pencernaanku dengan lembut dan penuh kasih sayang. Ah, betapa hangatnya.
Habis makan kan lumrahnya minum. Seperti biasa, aku tidak bawa minum. Aku juga males menyembah temanku untuk mendapatkan setetes tirta miliknya. Aku melihat ada aqua (padahal merknya dua tang) di meja dosen. Karena merasa aku telah membayar uang kuliah yang lumayan juga nominalnya, aku mengklaim kalau aku juga berhak atas minuman itu.
Aku pun meminumnya sembari menikmati sisa martabak manis di lidah ini, hingga tiba-tiba bidadariku kembali. Dia melihat jumlah aqua di meja telah berkurang, dan tak pernah kusangka sebelumnya, bidadariku mempersalahkannya. Dia bertanya siapa yang mengambil minuman yang sebenarnya disajikan untuk dosen tersebut. Dalam sekejap, seluruh mata di dunia terpaku ke arahku. Dengan berani aku mengangkat tangan dan berjalan ke arahnya. Kutatap matanya dengan pandangan dingin. Aku bisa lihat dia menggigil karena sikapku (bullshit).
"Serahkan ktm!", ucapnya.
Aku terkejut. Yang gila aja, harga tuh minuman sama dengan harga ktm-ku yang juga merupakan atm (sekalipun uangnya di dalamnya cuma Rp 1.497,00). "Ambil nanti di bagian pelayanan.", sambungnya sambil berlalu. "Kau bukan bidadariku lagi, esol!", teriakku (dalam hati).
Aku kembali ke bangkuku dengan kaki lemas. Aku tak percaya ktmku telah tiada. Aku baru merasa kehilangan setelah ia meninggalkanku sendiri di dalam dunia yang sepi ini (cuih).
Selepas kuliah, aku pergi ke bagian pelayanan. Aku disuruh mengisi form yang dibawahnya ada kolom tanda tangan aku dan orangtua. Pakai materai pula, tuh. Edan, ngambil minuman gopek, malah nombok tujuh ribu gopek. "Yasudahlah, namanya juga naas.", pekikku.
Aku mengambil form itu. "Tunggu dulu, kayanya ada yang aneh.", gumamku. "Whaaaaat? Tanda tangan orangtua? Njirr emak gua di Medan! Ar yu faking kiding mi?"
Kami pun terlibat di dalam perbincangan. Aku pun serasa menjadi delegasi mahasiswa perantauan bandel yang berusaha memperjuangkan hak-hak kami yang sebenarnya ngga ada (hihihi), hingga didapatlah kesimpulan aku tak perlu mendatangi emakku di Medan. Aku hanya perlu mendapatkan tanda tangan konselorku. Percakapan berakhir, aku meninggalkan tuh ruangan.
Begitu tiba di luar ruangan, aku pun langsung melakukan langkah awal, yaitu mencari tau siapa konselorku. Gila ya, satu tahun aku kuliah disini, aku masih ngga tau siapa konselorku.
Aku menelusuri database yang ada, hingga aku menemukan empat nama. Aku tak tau siapa yang harus kuhubungi, dan aku juga ngga tau apa jenis kelamin mereka. Akhirnya aku pun memutuskan untuk mengirimkan sms ke mereka semua dengan sapaan "Bapak/Ibu".
Aku tunggu balesan dari mereka. Lama juga, hingga akhirnya malaikat penyelamatku pun yang belakangan diketahui bernama Pak Iyep membalas (sebenarnya bukan cuma Pak Iyep yang bales, dan parahnya aku ngga bilang ke konselor lainnya itu kalau aku mau berurusannya dengan Pak Iyep saja. Jadi kaya ngegantungin gitu, kan? Maafkan saya Pak/Bu).
Ada kisah unik di awal perkenalan aku dengan Pak Iyep. Aku sempat memanggil beliau beberapa kali dengan panggilan "Ibu" hingga beliau terlihat agak kesal (kok ada ya mahasiswa kaya gue?). Untung beliau ngga membatalkan kesukarelawanannya dalam membantuku mendapatkan kembali ktmku, dan fix, kami bertemu keesokan harinya pukul 10.00.
Hari pun berganti, matahari masih menyinari bumi dengan caranya sendiri. Dengan semangat aku mendambakan pertemuanku dengan Pak Iyep karena aku sudah sangat merindukan ktmku (lumayan, buat nebal-nebalin dompet). Jam hampir menunjukkan pukul sepuluh dan aku pun bersiap. Sayang, sebuah sms masuk dan menghancurkan hatiku berkeping-keping. "Saya pagi ada rapat. Kita ketemunya jam 1 saja, di departemen IPTP".
Dengan kecewa aku kembali ke kamarku. "Jam satu? Kenapa? IPTP? Dimana itu?" Aku pasrah berbaring di kasurku sambil memeluk kedua bonekaku. Saat itu, aku ngga tau mana yang lebih buruk, minta tanda tangan emak di Medan, atau kaya gini. Aku pun terlelap dalam ratapan (now playing Sadis by Afgan).
Puas tidur, aku pun bangun dan melihat jam. "Anyiiing, tengah satu." Tinggal setengah jam lagi dari waktu pertemuan di tempat yang aku bahkan tidak tau, dan saat itu aku masih berada dalam keadaan dimana kancut adalah satu-satunya kain yang melilit di tubuhku. Aku pun bergegas berpakaian dan langsung menuju ke lokasi.
Perjalananku sangat sulit, dan setelah aku mendaki gunung, lewati lembah (maaf, gua masih marok nonton Ninja Hatori), aku pun menemukan tempat yang namanya departemen IPTP itu. Aku langsung masuk dan disuruh duduk sama receptionist. "Jangan lama-lama ya, mbak."
Seperti biasa, saat aku berada di tempat baru, hal yang kulakukan pertama kali adalah mengecek ada ga free WiFinya, dan ternyata di situ WiFinya badai gilaa, sampai-sampai abang-abang tukang fotocopy di dekat situ aja muter musik langsung dari youtube. "Njiiiir, yauda mbak. Lama-lama aja juga ngga apa kok."
Sialnya, tak lama setelah itu, Pak Iyep datang. Sungguh jauh dari dugaanku, beliau masih muda, segar, keren, kalem, dan begitu berwibawa. Kami berbincang ringan. Beliau sama sekali tidak membuatku merasa tertekan. Beliau benar-benar malaikat penyelamatku.
Singkat cerita (soalnya kalau diceritakan versi panjangnya, takutnya jadi salah fokus), urusanku dengan beliau kelar. Setelah berpamitan, aku langsung datengin tuh petugas CCR. Dengan bangga aku kasih tunjuk salah satu kertas terpenting di hidupku, lengkap terhiasi dengan tanda tangan Pak Iyep. Kertas itu pun mereka terima.
Aku luar biasa senang masalah ini akhirnya kelar juga. Karena aku masih tak menyangka kalau aku ternyata bisa bermasalah dengan pihak kampus hanya karena segelas aqua, aku pun mengabadikan momen dimana aku keluar dari ruang pelayanan membawa pulang ktmku dengan selamat sentosa. Sekian.
Kumpulkan cerita, jadikan buku novel judulnya "ngampus anak medan"
BalasHapus