Jumat, 11 Juli 2014

Kasur

Ketukan kecil di pintu kamar sembilan belas yang kutempati ini membangunkanku. Aku bergegas membukakannya dan ingin segera mengetahui siapa yang berdiri disana. Namun yang kudapat hanyalah sepucuk surat kecil dengan namaku tanpa pengirim. Aku membukanya. Itu hanyalah kertas kosong. Aku melihat ke kiri dan kanan lorong, namun hanya ada aku satu satunya yang berada di tempat itu saat itu.

Tiba – tiba saja handphoneku berdering. Aku segera mengambilnya yang masih terletak di atas meja belajar tua yang terbuat dari kayu itu. Sesaat aku menyentuhnya, benda itu berhenti berdering. Aku memeriksa nomor pemanggilnya, namun nomor tersebut diahasiakan. Aku semakin bingung saja.

Aku pun hanya bisa teduduk di kursi kayu coklat yang sudah sama renyotnya dengan meja belajarku tesebut, sambil melihat suasana di asrama pada sore hari yang mendung itu. Angin bertiup sangat kencang, menghempaskan rambutku, membuat jendela kecil disana ikut menari sesuai dengan irama alam. Aku hendak menutupnya karena itu menggangguku. Tetapi kulihat sudah ada sepucuk mawar putih disana. Aku mengambilnya dan seketika itu juga seluruh mahkotanya berguguran menyisahkan kelopak yang kini telah layu sendirian.

Aku membuangnya begitu saja di tempat sampah, bersama dengan surat tak jelas yang baru saja ku terima tersebut. Aku pun kembali ke kasurku yang sekeras batu berniat untuk kembali tidur. Sekalipun aku tidak pernah merasa nyaman berbaring disana, tapi setidaknya hanya itu satu satunya benda yang kupunya yang mampu membuatku melayang menikmati sisa hidupku di dunia yang selalu menggelitikku ini.

Share:

1 komentar: