Sabtu, 25 Mei 2013

"Sekolah Dambaan" Jangan Menjadi "Dambaan" Semata



Oleh : Denis Muba Pandapotan Simanihuruk ( SMAN 15 Medan )      

Bagi saya, sebagai seorang remaja yang masih berkesempatan untuk menikmati masa depan sebagai pribadi yang sukses, memiliki sebuah dambaan merupakan hal yang harus. Karena menurut saya, sangat jelas, dengan memiliki sebuah dambaan, saya akan semakin termotivasi untuk tidak berjalan di tempat. Saya akan memiliki semangat lebih untuk membuat perubahan dalam segala aspek kehidupan.
                                   
            Dan, salah satu aspek itu, yang sangat penting, tentu saja “pendidikan”. Pendidikan dinilai banyak orang sebagai awal dari kesuksesan, seolah – olah setiap orang yang sukses, sudah pasti memiliki latar belakang pendidikan yang mengumpuni. Hal tersebut, tentu tidak juga salah. Saya, yang saat ini bersekolah di SMAN 15 Medan, jujur masih belum mampu menemukan dimanapun yang dapat dikatakan sebagai sekolah dambaan setiap siswa siswi Indonesia. Untuk itu, “saya” sebagai bagian dari “kami” memiliki dambaan kecil yang sangat mungkin diterapkan untuk sekolah Indonesia, untuk pendidikan Indonesia.


             Saya mendambakan, dalam dua belas tahun saya belajar, selama enam hari dalam satu minggu, mulai dari pukul 07.30 hingga pukul 13.50, selama itu, saya selalu berjumpa dan berinteraksi dengan sosok – sosok yang kreatif dan inspiratif, sosok yang mampu mendorong saya untuk selalu belajar, sosok yang mengajari saya arti dan alasan kenapa saya harus kesekolah, sosok yang layak saya panggil ayah dan bunda. Saya mendambakan saya akan selalu bertemu dengan guru – guru hebat yang bertanggungjawab menjadikan saya sebagai seorang pribadi di bangsa yang cerdas, guru yang tak mengharapkan lebih dari prestasi yang akan saya dapat kedepannya,  guru yang saya sendiri tak akan canggung menyebutnya sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa”.


            Saya ingin melihat, kelak tidak ada lagi guru yang membuat para siswa siswinya merasa setiap bel tanda masuk sebagai jurang keneraka kekelaman, dan saat bel tanda pulang berbunyi, seolah – olah tertarik menuju dunia yang sangat indah. Bangsa Indonesia telah lama mengenal pendidikan. Kenapa para pengajar masih tidak mengerti juga, jeritan para siswa siswi yang merasa bahwa seluruh tugas dan pekerjaan rumah yang diberikan hanyalah ke-omongkosong-an belaka?

Saat ini saya bingung, siapa yang sebenarnya harus “belajar lagi”? Kami rasa kami, para siswa siswi telah menjalankan kewajiban kami untuk selalu “terpaksa” menghormati guru, mau seperti apapun gurunya. Jujur, saya tidak menyukainya! Meski begitu, kami selalu berusaha melakukannya. Namun, kenapa para guru tak pernah berusaha memahami apa yang para siswa siswinya kehendaki? Terlihatlah, seolah – olah para guru adalah makhluk paling keras kepala di muka bumi ini. Dapat disimpulkan, bahwa pada dasarnya, para gurulah yang harus “belajar lagi” untuk “mencoba” memahami kami.

Jika guru mampu memahami setiap siswa siswinya, tentu tidak akan ada lagi tugas untuk menyelesaikan Lembar Kerja Siswa setebal enam puluh lembar lebih hanya dalam waktu seminggu, tidak akan ada lagi yang namanya meringkas buku cetak setebal 2 sentimeter lebih yang sama sekali tidak ada gunanya, tidak akan ada lagi yang namanya membuat kliping – kliping sampah berlembar – lembar yang jelas sangat menguras kantong kami.

Saya pribadi sering mendambakan sebuah pola, pola dimana guru memberikan tugas kepada siswa siswi, dimana tugas itu menarik, cukup mengasah otak, tidak menjenuhkan, membuat siswa siswi ketagihan untuk mengerjakannya lagi dan lagi, dan yang terpenting tidak membuat kami lelah secara fisik! Saya juga mengingkan sebuah pola sistem pembelajaran yang dua arah, menekankan pada diskusi aktif, menciptakan kelompok – kelompok yang diberi topik penting untuk dibahas dan digali lebih lanjut. Menurut saya, kedua pola ini saja, jika benar – benar terwujud, sudah cukup mengurangi kesia – siaan sistem pendidikan yang mau tak mau harus kita jalani selama dua belas tahun ini.

Hal lainnya yang saya dambakan dalam dunia pendidikan sekolah ialah sistem mata pelajarannya. Bayangkan saja, sekitar enam jam waktu wajib kita untuk berada disekolah, jika hanya diisi dengan mata pelajaran yang menjenuhkan, apa masih ada manfaatnya? Dambaan saya, khusus dalam hal mata pelajaran ini, mungkin hanya berupa polanya saja. Saya berharap kelak, susunan mata pelajaran yang ditetapkan sekolah harus sesuai, dengan kata lain tidak ada hari sial bagi siswa siswi yang menjalaninya. Selama satu minggu, setiap harinya, pelajaran - pelajaran yang berpotensi menjenuhkan seperti matematika, kimia, fisika, biologi, harus diselingi dengan pelajaran – pelajaran yang lebih santai seperti sejarah, ataupun pelajaran yang mengasyikan seperti seni musik, wirausaha, dan olahraga. Seluruh pelajaran yang ada didalam kurikulum, disusun sedemikian rupa, sehingga setiap harinya, ada saja pelajaran yang cukup menarik yang ditunggu oleh para siswa siswi, yang setidaknya dapat mendorong kami untuk beranjak pergi ke sekolah.

            Namun, ada satu hal yang paling fatal menurut saya dari keseluruhan aspek tersebut, yaitu bentuk ujian kelulusan. Sebenarnya, sistem ujian nasional itu sudah layak atau tidak menjadi standar kelulusan? Kalau menurut saya pribadi, saya termasuk orang yang tidak menyukai sistem ini. Sistem ujian nasional yang diterapkan, hanyalah formalitas tak berguna, yang justru sangat menentukan nasib selanjutnya para siswa siswi Indonesia. Selalu ada saja yang tidak jujur, memanfaatkan dunia yang sudah kebal dosa ini, untuk mengambil jalan pintas sesat. Bayangkan, jika ada seseorang yang jujur, yang belajar dengan giat dan berusaha, namun hanya mendapat nilai pas – pasan sehingga harus melanjut ke lembaga pendidikan swasta, disaat ada seseorang yang memanfaatkan kekejian duniawi sehingga mendapat nilai yang sangat tinggi, dengan sedikit atau bahkan nyaris tidak ada upaya untuk belajar, yang membuatnya dapat menikmati pendidikan di lembaga pendidikan negeri. Masih layakkah ujian nasional ini?

            Tetapi, andaikan pemerintah meyerahkan hak memberi keputusan sepenuhnya kepada sekolah, menurutku itu diibaratkan “lepas dari mulut harimau, masuk kedalam mulut buaya”. Jelas, hal tersebut semakin memberikan keleluasaan oknum – oknum pelaku pencucian rapot. Barangsiapa yang memiliki dana berlebih, bukan tidak mungkin dapat memperoleh nilai yang tinggi. Timbul pertanyaan, “pendidikan seperti apa ini?”

            Kekotoran kemunafikan bangsa ini sudah sangat jelas, namun setiap orang berusaha pura – pura tidak tahu dengan apa yang terjadi, dan sekarang virus bejat ini telah merambah hingga ke dunia pendidikan. Sangat disayangkan, segudang potensi masa depan cerah harus menyaksikan dan ikut serta didalam kubusukan ini.

            Jadi, jika ditanya apa dambaan saya terhadap bentuk ujian kelulusan di Indonesia ini? Jawaban saya sangat sederhana, “tidak ada yang salah dengan sistemnya!” Sistem apapun yang dijalankan, semuanya bertujuan baik, eksekusinya yang gagal! Yang saya harapkan untuk aspek ini adalah kesadaran untuk berubah dari segala lini pendidikan Indonesia. Saya harap mereka menyadari siapa yang sebenarnya mereka rusak dengan kelakuan mereka. Saya rasa, jika hal ini senantiasa terjadi, yang akan kita lihat hanyalah kemunduran bangsa kita.

            Saya, saat ini hanya sebagai siswa di bangsa katanya besar ini, hanya ingin menyampaikan bahwa baik pendidikan, sekolah, maupun kami, generasi muda, masing – masing masih memiliki peluang untuk menikmati masa depan yang cerah. Saya harap kepada seluruh pihak yang selama ini hanya berpura – pura membimbing kami, kami mohon untuk benar – benar membimbing kami, karena “semua masih punya masa depan”.
Share:

2 komentar: