Oleh : Denis Muba Pandapotan
Simanihuruk ( SMAN 15 Medan
)
Bagi saya, sebagai
seorang remaja yang masih
berkesempatan untuk menikmati masa depan sebagai pribadi yang sukses, memiliki
sebuah dambaan merupakan hal yang harus. Karena menurut saya, sangat jelas, dengan
memiliki sebuah dambaan, saya akan semakin termotivasi untuk tidak berjalan di tempat. Saya akan memiliki
semangat lebih untuk membuat perubahan dalam segala aspek kehidupan.
Dan,
salah satu aspek itu, yang sangat penting, tentu saja “pendidikan”. Pendidikan
dinilai banyak orang sebagai awal dari kesuksesan, seolah – olah setiap orang
yang sukses, sudah pasti memiliki latar belakang pendidikan yang mengumpuni.
Hal tersebut, tentu tidak juga salah. Saya, yang saat ini bersekolah di SMAN 15 Medan, jujur masih belum mampu menemukan dimanapun yang dapat dikatakan sebagai sekolah dambaan setiap siswa siswi Indonesia. Untuk itu, “saya” sebagai bagian dari “kami”
memiliki dambaan kecil yang sangat mungkin diterapkan untuk sekolah Indonesia, untuk pendidikan Indonesia.
Saya
mendambakan, dalam dua belas tahun saya belajar, selama enam hari dalam satu
minggu, mulai dari pukul 07.30 hingga pukul 13.50, selama itu, saya selalu berjumpa
dan berinteraksi dengan sosok – sosok yang kreatif dan inspiratif, sosok yang
mampu mendorong saya untuk selalu belajar, sosok yang mengajari saya arti dan
alasan kenapa saya harus kesekolah, sosok yang layak saya panggil ayah dan
bunda. Saya mendambakan saya akan selalu bertemu dengan guru – guru hebat yang
bertanggungjawab menjadikan saya sebagai seorang pribadi di bangsa yang cerdas,
guru yang tak mengharapkan lebih dari prestasi yang akan saya dapat kedepannya,
guru yang saya sendiri tak akan canggung
menyebutnya sebagai “pahlawan tanpa tanda
jasa”.
Saya
ingin melihat, kelak tidak ada lagi guru yang membuat para siswa siswinya
merasa setiap bel tanda masuk sebagai jurang keneraka kekelaman, dan saat bel
tanda pulang berbunyi, seolah – olah tertarik menuju dunia yang sangat indah. Bangsa
Indonesia
telah lama mengenal pendidikan. Kenapa para pengajar masih tidak mengerti juga,
jeritan para siswa siswi yang merasa bahwa seluruh tugas dan pekerjaan rumah
yang diberikan hanyalah ke-omongkosong-an belaka?
Saat ini saya
bingung, siapa yang sebenarnya harus “belajar
lagi”? Kami rasa kami, para siswa siswi telah menjalankan kewajiban kami
untuk selalu “terpaksa” menghormati guru, mau seperti apapun gurunya. Jujur,
saya tidak menyukainya! Meski begitu, kami selalu berusaha melakukannya. Namun,
kenapa para guru tak pernah berusaha memahami apa yang para siswa siswinya kehendaki?
Terlihatlah, seolah – olah para guru adalah makhluk paling keras kepala di muka
bumi ini. Dapat disimpulkan, bahwa pada dasarnya, para gurulah yang harus “belajar lagi” untuk “mencoba” memahami
kami.
Jika guru
mampu memahami setiap siswa siswinya, tentu tidak akan ada lagi tugas untuk
menyelesaikan Lembar Kerja Siswa setebal enam puluh lembar lebih hanya dalam
waktu seminggu, tidak akan ada lagi yang namanya meringkas buku cetak setebal 2
sentimeter lebih yang sama sekali tidak ada gunanya, tidak akan ada lagi yang
namanya membuat kliping – kliping sampah berlembar – lembar yang jelas
sangat menguras kantong kami.
Saya pribadi
sering mendambakan sebuah pola, pola dimana guru memberikan tugas kepada siswa
siswi, dimana tugas itu menarik, cukup mengasah otak, tidak menjenuhkan,
membuat siswa siswi ketagihan untuk mengerjakannya lagi dan lagi, dan yang
terpenting tidak membuat kami lelah secara fisik! Saya juga mengingkan sebuah
pola sistem pembelajaran yang dua arah, menekankan pada diskusi aktif,
menciptakan kelompok – kelompok yang diberi topik penting untuk dibahas dan
digali lebih lanjut. Menurut saya, kedua pola ini saja, jika benar – benar terwujud,
sudah cukup mengurangi kesia – siaan sistem pendidikan yang mau tak mau harus kita jalani selama dua
belas tahun ini.
Hal lainnya
yang saya dambakan dalam dunia pendidikan sekolah ialah sistem mata pelajarannya.
Bayangkan saja, sekitar enam jam waktu wajib kita untuk berada disekolah, jika
hanya diisi dengan mata pelajaran yang menjenuhkan, apa masih ada manfaatnya?
Dambaan saya, khusus dalam hal mata pelajaran ini, mungkin hanya berupa polanya
saja. Saya berharap kelak, susunan mata pelajaran yang ditetapkan sekolah harus
sesuai, dengan kata lain tidak ada hari sial bagi siswa siswi yang
menjalaninya. Selama satu minggu, setiap harinya, pelajaran - pelajaran yang
berpotensi menjenuhkan seperti matematika, kimia, fisika, biologi, harus
diselingi dengan pelajaran – pelajaran yang lebih santai seperti sejarah,
ataupun pelajaran yang mengasyikan seperti seni musik, wirausaha, dan olahraga.
Seluruh pelajaran yang ada didalam kurikulum, disusun sedemikian rupa, sehingga
setiap harinya, ada saja pelajaran yang cukup menarik yang ditunggu oleh para
siswa siswi, yang setidaknya dapat mendorong kami untuk beranjak pergi ke
sekolah.
Namun,
ada satu hal yang paling fatal menurut saya dari keseluruhan aspek tersebut, yaitu
bentuk ujian kelulusan. Sebenarnya, sistem ujian nasional itu sudah layak atau
tidak menjadi standar kelulusan? Kalau menurut saya pribadi, saya termasuk
orang yang tidak menyukai sistem ini. Sistem ujian nasional yang diterapkan,
hanyalah formalitas tak berguna, yang justru sangat menentukan nasib
selanjutnya para siswa siswi Indonesia.
Selalu ada saja yang tidak jujur, memanfaatkan dunia yang sudah kebal dosa ini,
untuk mengambil jalan pintas sesat. Bayangkan, jika ada seseorang yang jujur,
yang belajar dengan giat dan berusaha, namun hanya mendapat nilai pas – pasan sehingga harus melanjut ke
lembaga pendidikan swasta, disaat ada seseorang yang memanfaatkan kekejian duniawi
sehingga mendapat nilai yang sangat tinggi, dengan sedikit atau bahkan nyaris
tidak ada upaya untuk belajar, yang membuatnya dapat menikmati pendidikan di
lembaga pendidikan negeri. Masih layakkah ujian nasional ini?
Tetapi,
andaikan pemerintah meyerahkan hak memberi keputusan sepenuhnya kepada sekolah,
menurutku itu diibaratkan “lepas dari
mulut harimau, masuk kedalam mulut buaya”. Jelas, hal tersebut semakin
memberikan keleluasaan oknum – oknum pelaku pencucian rapot. Barangsiapa yang
memiliki dana berlebih, bukan tidak mungkin dapat memperoleh nilai yang tinggi.
Timbul pertanyaan, “pendidikan seperti apa ini?”
Kekotoran
kemunafikan bangsa ini sudah sangat jelas, namun setiap orang berusaha pura –
pura tidak tahu dengan apa yang terjadi, dan sekarang virus bejat ini telah merambah hingga ke dunia pendidikan. Sangat
disayangkan, segudang potensi masa depan cerah harus menyaksikan dan ikut serta
didalam kubusukan ini.
Jadi,
jika ditanya apa dambaan saya terhadap bentuk ujian kelulusan di Indonesia ini?
Jawaban saya sangat sederhana, “tidak ada
yang salah dengan sistemnya!” Sistem apapun yang dijalankan, semuanya
bertujuan baik, eksekusinya yang gagal! Yang saya harapkan untuk aspek ini adalah
kesadaran untuk berubah dari segala lini pendidikan Indonesia. Saya harap mereka
menyadari siapa yang sebenarnya mereka rusak dengan kelakuan mereka. Saya rasa,
jika hal ini senantiasa terjadi, yang akan kita lihat hanyalah kemunduran
bangsa kita.
Saya,
saat ini hanya sebagai siswa di bangsa katanya
besar ini, hanya ingin menyampaikan bahwa baik pendidikan, sekolah, maupun kami,
generasi muda, masing – masing masih memiliki peluang untuk menikmati masa
depan yang cerah. Saya harap kepada seluruh pihak yang selama ini hanya berpura
– pura membimbing kami, kami mohon untuk benar – benar membimbing kami,
karena “semua masih punya masa depan”.
(h) (o)
BalasHapusnice post bro! :-b
Hapus