Para mahasiswa yang lalu-lalang
di depanku sama sekali tak mengusikku. Aku hanya duduk di lobi menuliskan
tulisan ini. Aku berusaha menumpahkan seluruh yang kurasakan sekarang dan
berharap tidak pernah merasakannya lagi. Semua dilema ini telah membuatku lemah
selemah-lemahnya. Tetapi sayangnya aku tak mampu menuliskan apapun.
Aku tak mampu bukan karena aku
tidak bisa menulis, melainkan aku tak bisa membayangkan aku yang kelak akan membaca
apa yang telah ku tulis itu. Sebab bukankah aku menuliskanya supaya semuanya
itu lenyap? Lantas, bagaimana mungkin semua itu dapat lenyap jika mataku
menegurnya kembali?
Apa yang kurasakan sangat rumit, serumit
susunan atom karbon yang pada dasarnya hitam rapuh, namun bisa menjadi sesuatu
seindah intan. Apa arti semua itu? Artinya dilemaku itu sangat banyak, sangat
rapat, sangat terstruktur untuk menjatuhkan mentalku, saling menyambung hingga
tak ada waktu yang ia berikan kepadaku untuk bernafas lagi.
Separah itukah? Ya, sangat
teramat parah. Mataku lecet, tanganku terluka, hatiku derdenyut, otakku
menangis. Aku membutuhkan malaikat, namun yang kutemukan hanyalah
kepura-puraan. Aku menemukan kesetiaan, namun yang kurasakan hanyalah
penghinaan.
Semua seolah menyuruhku untuk
berhenti bernafas saja. Tapi aku tidak mau. Kenapa? Karena sekali aku
menganalogikan semua dilemaku itu dengan atom-atom karbon tersebut, selamanya
akan demikian. Maksudnya apa? Apa kalian telah melupakan apa yang menjadi hasil
dari susunan atom-atom tersebut? Intan.
0 komentar:
Posting Komentar