Selasa, 14 Oktober 2014

Intan

Para mahasiswa yang lalu-lalang di depanku sama sekali tak mengusikku. Aku hanya duduk di lobi menuliskan tulisan ini. Aku berusaha menumpahkan seluruh yang kurasakan sekarang dan berharap tidak pernah merasakannya lagi. Semua dilema ini telah membuatku lemah selemah-lemahnya. Tetapi sayangnya aku tak mampu menuliskan apapun.
 
Aku tak mampu bukan karena aku tidak bisa menulis, melainkan aku tak bisa membayangkan aku yang kelak akan membaca apa yang telah ku tulis itu. Sebab bukankah aku menuliskanya supaya semuanya itu lenyap? Lantas, bagaimana mungkin semua itu dapat lenyap jika mataku menegurnya kembali?
 
Apa yang kurasakan sangat rumit, serumit susunan atom karbon yang pada dasarnya hitam rapuh, namun bisa menjadi sesuatu seindah intan. Apa arti semua itu? Artinya dilemaku itu sangat banyak, sangat rapat, sangat terstruktur untuk menjatuhkan mentalku, saling menyambung hingga tak ada waktu yang ia berikan kepadaku untuk bernafas lagi.
 
Separah itukah? Ya, sangat teramat parah. Mataku lecet, tanganku terluka, hatiku derdenyut, otakku menangis. Aku membutuhkan malaikat, namun yang kutemukan hanyalah kepura-puraan. Aku menemukan kesetiaan, namun yang kurasakan hanyalah penghinaan.
 
Semua seolah menyuruhku untuk berhenti bernafas saja. Tapi aku tidak mau. Kenapa? Karena sekali aku menganalogikan semua dilemaku itu dengan atom-atom karbon tersebut, selamanya akan demikian. Maksudnya apa? Apa kalian telah melupakan apa yang menjadi hasil dari susunan atom-atom tersebut? Intan.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar