Ini malam yang sebenarnya tidak begitu dingin. Disaat semua
orang sudah menyelimuti tubuh mereka dengan sarung berusaha untuk terlelap, aku masih saja terjaga.
Aku tak mungkin bisa tidur dengan semua itu, dengan seluruh teriakan jangkrik, dengan pelukan-pelukan hangat dari sang angin, dan dengan tarian para bintang kecil di langit.
Berkemah
bukanlah hal yang baru bagiku. Namun ntah mengapa, ternyata ada hal yang mampu
membuat tubuhku bergetar lebih hebat dari saat aku mengalami hipotermia di
Puncak Tapal Kuda, Gunung Sibayak, dan aku baru menyadarinya saat aku berada di
sebuah tempat yang ketinggiannya bahkan hanya setengah dari tinggi puncak
tersebut.
Sayang,
tak ada yang istimewa di keesokan harinya. Semua berlalu begitu saja. Aku
berjalan, berjalan terus, menikmati alam, merasakan dinginnya mata air, dan
hangatnya air mata. Mungkin semua itu terkesan hebat, tetapi tidak untuk
seseorang dengan kondisi hati seperti aku.
Waktu pun berjalan begitu cepat, hingga tanpa terasa, sang fajar dengan anggunnya telah menyerahkan keperkasaan langit kepada rembulan. Aku tidak begitu suka
rembulan. Ia selalu membuat segala sesuatunya meluluh, termasuk hati yang
membara. Tapi itulah yang alam kehendaki. Aku tak mampu berbuat apapun untuk mengubah semua itu.
Namun tanpa pernah kusangka-sangka sebelumnya, semua pandanganku itu berubah saat kami bertatapan. Saat itulah aku bersyukur rembulan masih berada di sana
sekalipun aku mengusiknya. Berkatnya, aku jadi bisa melihat wajahnya yang
menatapku, dan ia pun bisa melihat senyumanku yang tulus kuberikan untuknya.
Aku
yakin kalian bertanya-tanya siapa “ia” yang mengganti sudut pandang “aku”
menjadi “kami” di akhir cerita ini. Aku tak mau menjawabnya. Tolong tanyakan
saja ke rembulan. Ia menyaksikannya.
0 komentar:
Posting Komentar