Jumat, 30 Januari 2015

Bogor

Hari ini, 12 Desember 2014, adalah hari dimana aku tepat 6 bulan mengirup udara sang kota hujan, Bogor. Mungkin aku belum sempat bercerita kenapa aku bisa sampai disini, dan meninggalkan rumahku – Medan. Aku saat ini sedang mengambil program sarjana di Institut Pertanian Bogor, kampus impianku.
Awalnya aku sangat bersemangat dan tak sabar segera mencicipi kehidupan baru. Namun, ntah kenapa kini aku merasa tak betah berada disini. Padahal, aku baru seperdelapan jalan. Perjalananku masih sangat jauh, dan satu-satunya hal selalu kupikirkan adalah pulang ke Medan. Mungkin kalian akan berpikir kalau aku adalah seorang cowo yang manja. Namun, sungguh, jika kalian adalah seorang cowo, coba saja berada di posisiku, atau jika kalian seorang cewe, ganti dulu kelamin kalian, dan coba jugalah berada di posisiku.
Hidupku benar-benar terjebak dalam rutinitas yang menjemukan. Rute yang kulalui dari Senin sampai Jumat tidak jauh-jauh dari asrama-CCR (Common Class Room – bahasa keren dari ruang kelas)-bara (Babakan Raya – tempat cuci mata yang bersahabat dengan kantong mahasiswa). Hari Sabtu makin parah, aku hanya bersarang satu harian di kamar asrama dengan seluruh persediaan Indomie Jumbo rasa ayam panggang dan biskuit gula Hatariku. Satu-satunya hari yang kukira awalnya bakal menyelamatkan hidupku hanyalah hari Minggu, dimana aku memiliki rute asrama-bara-laladon-btm-botani square-surken-gereja. Tapi lama kelamaan, setelah setiap minggu kulalui selama enam bulan dengan hal yang itu-lagi-itu-lagi, aku jenuh juga.
Aku rindu Medan. Aku rindu rumahku – terutama kamarku yang menjadi satu-satunya kamar di rumah itu yang tak ada kasurnya, aku rindu studio musik langananku, aku rindu mie ayam goceng, aku rindu layangan, aku rindu loteng, aku rindu film Diarynya si Dika, aku rindu rumah Siti yang enak banget ditumpangi makan, aku rindu main bola di halaman rumah Supras, aku rindu hunting di bunderan di depan diskotik, aku rindu semuanya yang tak mungkin kusebut, karena pasti akan membutuhkan waktu 16 tahun untuk menjelaskannya secara rinci.
Sering aku berpikir apa aku bisa bertahan? Apa aku kuat menghadapi semua kehidupan baruku, dengan teman-teman yang sebagian besar tidak sejiwa dengaku?
Beruntung bagiku, hatiku tiba-tiba saja tergerak untuk menonton filmnya bang Dika yang juduknya Manusia Setengah Salmon itu. Aku sadar bahwa yang namanya manusia bakalan selalu mengalami perpindahan di sepanjang hidupnya. Aku hanya perlu beradaptasi, dan berpikiran bahwa kehidupanku yang sekarang memiliki hal-hal baru yang mungkin saja lebih baik dari kehidupanku yang lama.
Kini, enam bulan yang sangat terasa pun telah berlalu. Selamat hari jadian, kota baruku. Aku janji, selama Bogor tak jemu menghadapiku, aku akan berusaha menyamankan diriku dalam bekapmu.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar