Hari ini, 12 Desember 2014,
adalah hari dimana aku tepat 6 bulan mengirup udara sang kota hujan, Bogor.
Mungkin aku belum sempat bercerita kenapa aku bisa sampai disini, dan
meninggalkan rumahku – Medan. Aku saat ini sedang mengambil program sarjana di
Institut Pertanian Bogor, kampus impianku.
Awalnya aku sangat bersemangat
dan tak sabar segera mencicipi kehidupan baru. Namun, ntah kenapa kini aku
merasa tak betah berada disini. Padahal, aku baru seperdelapan jalan.
Perjalananku masih sangat jauh, dan satu-satunya hal selalu kupikirkan adalah
pulang ke Medan. Mungkin kalian akan berpikir kalau aku adalah seorang cowo
yang manja. Namun, sungguh, jika kalian adalah seorang cowo, coba saja berada
di posisiku, atau jika kalian seorang cewe, ganti dulu kelamin kalian, dan coba
jugalah berada di posisiku.
Hidupku benar-benar terjebak
dalam rutinitas yang menjemukan. Rute yang kulalui dari Senin sampai Jumat
tidak jauh-jauh dari asrama-CCR (Common Class Room – bahasa keren dari ruang
kelas)-bara (Babakan Raya – tempat cuci mata yang bersahabat dengan kantong
mahasiswa). Hari Sabtu makin parah, aku hanya bersarang satu harian di kamar asrama
dengan seluruh persediaan Indomie Jumbo rasa ayam panggang dan biskuit gula
Hatariku. Satu-satunya hari yang kukira awalnya bakal menyelamatkan hidupku
hanyalah hari Minggu, dimana aku memiliki rute asrama-bara-laladon-btm-botani
square-surken-gereja. Tapi lama kelamaan, setelah setiap minggu kulalui selama
enam bulan dengan hal yang itu-lagi-itu-lagi, aku jenuh juga.
Aku rindu Medan. Aku rindu
rumahku – terutama kamarku yang menjadi satu-satunya kamar di rumah itu yang
tak ada kasurnya, aku rindu studio musik langananku, aku rindu mie ayam goceng,
aku rindu layangan, aku rindu loteng, aku rindu film Diarynya si Dika, aku
rindu rumah Siti yang enak banget ditumpangi makan, aku rindu main bola di
halaman rumah Supras, aku rindu hunting di bunderan di depan diskotik, aku
rindu semuanya yang tak mungkin kusebut, karena pasti akan membutuhkan waktu 16
tahun untuk menjelaskannya secara rinci.
Sering aku berpikir apa aku bisa
bertahan? Apa aku kuat menghadapi semua kehidupan baruku, dengan teman-teman
yang sebagian besar tidak sejiwa dengaku?
Beruntung bagiku, hatiku
tiba-tiba saja tergerak untuk menonton filmnya bang Dika yang juduknya Manusia
Setengah Salmon itu. Aku sadar bahwa yang namanya manusia bakalan selalu
mengalami perpindahan di sepanjang hidupnya. Aku hanya perlu beradaptasi, dan
berpikiran bahwa kehidupanku yang sekarang memiliki hal-hal baru yang mungkin
saja lebih baik dari kehidupanku yang lama.
Kini, enam bulan yang sangat
terasa pun telah berlalu. Selamat hari jadian, kota baruku. Aku janji, selama
Bogor tak jemu menghadapiku, aku akan berusaha menyamankan diriku dalam
bekapmu.
0 komentar:
Posting Komentar