Bogor,
27 November 2014
Hai
Ibu,
Bagaimana keadaanmu disana? Aku
harap Ibu baik-baik saja. Apa Ibu merindukanku? Aku merindukanmu, Bu. Aku
sangat merindukanmu. Maaf, jika aku jarang meneleponmu. Itu bukan karena aku
telah melupakanmu dengan semua kehidupan baruku disini. Hanya saja, aku masih
sulit mendapatkan sang waktu yang selalu lari dari kejaranku. Ia berlari sangat
kencang, Bu. Napasku kini sudah tersenggal-senggal karenanya, dan ia masih saja
tak melirikku dengan rasa iba.
Oh iya, Bu, aku disini sehat, kok. Aku
tahu itu semua karena Ibu selalu mendoakanku dari sana. Aku dapat merasakan
semuanya, semua kata yang keluar dari mulutmu. Ibu tahu, ternyata sang jarak
tak cukup kuasa menghalangi ikatan diantara kita berdua.
Bu, aku ingin sedikit bercerita. Aku
mengalami hal yang berat akhir-akhir ini yang sepertinya tak mampu
kusembunyikan lagi. Kata-kata pembukaku saja sudah penuh dengan kesan itu, bukan?
Ibu,
aku punya sebuah rahasia yang tampaknya kini harus keluar dari persembunyiannya
di dalam hatiku yang semakin lama semakin kelam saja.
Bu,
salah satu alasan mengapa aku ingin mencoba kehidupan baru disini adalah karena
dulu aku sempat jemu berhadapan denganmu. Ibu sering mengganguku saat aku
sedang ingin sendiri. Ibu sering menyuruhku saat aku sedang mencoba berkonsentrasi
melakukan sesuatu. Ibu sering menegurku disaat telingaku sudah panas dengan
ucapan orang-orang. Ibu sering menarikku dari kehidupan malamku yang indah
bersama teman-temanku. Aku lelah saat itu. Aku ingin berpisah darimu. Aku tak
ingin Ibu selalu mengaturku, karena aku merasa aku telah cukup dewasa untuk
melakukan apa yang kuanggap pantas kulakukan. Jujur, aku sempat menganggap
kalau seluruh perlakuan Ibu itu semata hanya karena Ibu iseng, karena Ibu tidak
ada kerjaan lagi.
Ah,
betapa jahatnya aku, Bu.
Namun setelah kini aku berada jauh
darimu, aku sadar kalau aku tak bisa hidup tanpamu. Baru tiga bulan semua ini
berjalan, namun aku telah banyak dikalahkan orang-orang. Aku lemah, Bu. Aku tak
mampu bersinar seperti dulu dimana Ibu disampingku. Aku tak mampu menggenggam
apapun. Aku merasa aku jauh-jauh datang kesini hanya untuk menjadi sampah. Aku juga kini telah memiliki banyak
musuh. Tak ada orang disini yang mampu memahami emosiku sehingga hubunganku
dengan mereka rusak begitu saja. Ibu tahu kan bagaimana kerasnya kepalaku?
Mereka menjauhiku. Kini aku sendirian, Bu. Aku tak memiliki apa-apa lagi;
rumah, jalan, kaki.
Bodohnya diriku yang sempat berpikir
mampu hidup tanpamu. Kini, yang mampu kukatakan hanyalah, “Jangan pernah jemu
menghadapiku, seperti aku yang sempat jemu menghadapimu.” Jangan pernah, Bu.
Jangan. Aku masih membutuhkan seseorang yang dapat menarikku kembali saat aku
telah menyimpang terlalu jauh.
Aku masih membutuhkanmu,
Bu. Sangat membutuhkanmu.
Namun
kini, aku telah terlanjur berjalan jauh di jalan yang ku pilih, Bu. Tak mungkin
rasanya aku kembali ke persimpangan lagi. Restuilah aku, Bu. Restuilah, dan berjanjilah
juga jangan mengkuatirkanku, Bu, sekalipun apa yang baru saja kuceritakan ini
pasti membuatmu resah. Aku pun akan berusaha tidak terlalu mengkuatirkan
keadaanku lagi, sebab aku selalu tahu bahwa ada seseorang yang jauh disana yang
tak pernah berhenti meneguhkan harapannya padaku.
Terimakasih,
Bu. Aku mencintaimu, sangat mencintaimu.
Cukup sekian dulu ya, Bu. Ingat,
jagalah selalu kesehatanmu. Aku belum membahagiakanmu, Bu. Tetaplah menunggu
saat itu datang.
Sampai
bertemu nanti.
Salam
sayang dari anakmu.
0 komentar:
Posting Komentar