Sabtu, 13 Desember 2014

Hai Ibu

Bogor, 27 November 2014

Hai Ibu,
            Bagaimana keadaanmu disana? Aku harap Ibu baik-baik saja. Apa Ibu merindukanku? Aku merindukanmu, Bu. Aku sangat merindukanmu. Maaf, jika aku jarang meneleponmu. Itu bukan karena aku telah melupakanmu dengan semua kehidupan baruku disini. Hanya saja, aku masih sulit mendapatkan sang waktu yang selalu lari dari kejaranku. Ia berlari sangat kencang, Bu. Napasku kini sudah tersenggal-senggal karenanya, dan ia masih saja tak melirikku dengan rasa iba.
            Oh iya, Bu, aku disini sehat, kok. Aku tahu itu semua karena Ibu selalu mendoakanku dari sana. Aku dapat merasakan semuanya, semua kata yang keluar dari mulutmu. Ibu tahu, ternyata sang jarak tak cukup kuasa menghalangi ikatan diantara kita berdua.
            Bu, aku ingin sedikit bercerita. Aku mengalami hal yang berat akhir-akhir ini yang sepertinya tak mampu kusembunyikan lagi. Kata-kata pembukaku saja sudah penuh dengan kesan itu, bukan?
Ibu, aku punya sebuah rahasia yang tampaknya kini harus keluar dari persembunyiannya di dalam hatiku yang semakin lama semakin kelam saja.
Bu, salah satu alasan mengapa aku ingin mencoba kehidupan baru disini adalah karena dulu aku sempat jemu berhadapan denganmu. Ibu sering mengganguku saat aku sedang ingin sendiri. Ibu sering menyuruhku saat aku sedang mencoba berkonsentrasi melakukan sesuatu. Ibu sering menegurku disaat telingaku sudah panas dengan ucapan orang-orang. Ibu sering menarikku dari kehidupan malamku yang indah bersama teman-temanku. Aku lelah saat itu. Aku ingin berpisah darimu. Aku tak ingin Ibu selalu mengaturku, karena aku merasa aku telah cukup dewasa untuk melakukan apa yang kuanggap pantas kulakukan. Jujur, aku sempat menganggap kalau seluruh perlakuan Ibu itu semata hanya karena Ibu iseng, karena Ibu tidak ada kerjaan lagi.
            Ah, betapa jahatnya aku, Bu.
            Namun setelah kini aku berada jauh darimu, aku sadar kalau aku tak bisa hidup tanpamu. Baru tiga bulan semua ini berjalan, namun aku telah banyak dikalahkan orang-orang. Aku lemah, Bu. Aku tak mampu bersinar seperti dulu dimana Ibu disampingku. Aku tak mampu menggenggam apapun. Aku merasa aku jauh-jauh datang kesini hanya untuk menjadi sampah. Aku juga kini telah memiliki banyak musuh. Tak ada orang disini yang mampu memahami emosiku sehingga hubunganku dengan mereka rusak begitu saja. Ibu tahu kan bagaimana kerasnya kepalaku? Mereka menjauhiku. Kini aku sendirian, Bu. Aku tak memiliki apa-apa lagi; rumah, jalan, kaki.
            Bodohnya diriku yang sempat berpikir mampu hidup tanpamu. Kini, yang mampu kukatakan hanyalah, “Jangan pernah jemu menghadapiku, seperti aku yang sempat jemu menghadapimu.” Jangan pernah, Bu. Jangan. Aku masih membutuhkan seseorang yang dapat menarikku kembali saat aku telah menyimpang terlalu jauh.
Aku masih membutuhkanmu, Bu. Sangat membutuhkanmu.
            Namun kini, aku telah terlanjur berjalan jauh di jalan yang ku pilih, Bu. Tak mungkin rasanya aku kembali ke persimpangan lagi. Restuilah aku, Bu. Restuilah, dan berjanjilah juga jangan mengkuatirkanku, Bu, sekalipun apa yang baru saja kuceritakan ini pasti membuatmu resah. Aku pun akan berusaha tidak terlalu mengkuatirkan keadaanku lagi, sebab aku selalu tahu bahwa ada seseorang yang jauh disana yang tak pernah berhenti meneguhkan harapannya padaku.
Terimakasih, Bu. Aku mencintaimu, sangat mencintaimu.
            Cukup sekian dulu ya, Bu. Ingat, jagalah selalu kesehatanmu. Aku belum membahagiakanmu, Bu. Tetaplah menunggu saat itu datang.
Sampai bertemu nanti.

Salam sayang dari anakmu.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar