Aku terhenyak untuk waktu yang lama. Kulihat dia masih
saja menangis dalam pelukanku. Dia terlihat begitu kuatir, namun aku tak tau
apa yang membuatnya kuatir. Bajuku seketika basah. Dia semakin larut dalam
tangisannya. Dan lagi lagi, aku tak mampu membendung air mataku, melihatnya
seperti itu.
“Ru, apa yang kau kuatirkan? Tak
sedikitpun cintaku memudar kepadamu”, isakku.
Dia hanya diam. Pandangannya nanar
kearah piano didekat kami duduk tersebut. Aku jadi teringat saat dimana aku
memainkan sebuah melodi indah karyaku, dengan piano tersebut, hanya untuknya.
Hari itu adalah hari yang cerah, sama seperti hari ini. Aku masih bisa
mengingat wajah bahagiannya, saat kami bercanda ria di ruangan yang manis itu.
Namun, suasananya berbeda saat ini.
Yang ada hanya keheningan. Ntah apa yang menyebabkanya pun aku tidak tahu. Tapi, itu tidak terlalu penting untuk saat
ini.
Yang terpenting hanyalah bagaimana
caranya agar dia, mampu tersenyum lagi kepada dunia yang telah dia anggap
begitu kelabu ini.
Aku melepaskan pelukanku perlahan
darinya. Wajahnya, masih saja basah karena tangisan. Dia menatapku hampa. Aku
berdiri, menggenggam tangannya, dan mengecup keningnya. Tak ada tangapan
darinnya. Dia hanya kembali terkulai lemas di sofa itu, dan pandangannya masih
saja ke arah piano itu.
Aku meninggalkannya, bergegas ke
arah piano yang beruntung, masih medapatkan tatapan indahnya itu. Aku duduk,
terdiam sejenak. Kuambil nafas dalam, dan ku mulai memainkan melodi yang pernah
kumainkan hanya untuknya, karyaku tersebut.
Kulirik dia, wajahnya kini datar,
mendengar dentingan tersebut. Lagi lagi dia menangis. Aku tak kuasa melihatnya
seperti itu.
Aku berhenti sejenak. Aku mulai
mainkan lagi, dan kali ini aku memainkannya sambil mengatakan, apa yang tulus
keluar dari hatiku, megharmonisasikannya dan mulai terdengar seperti sebuah
lagu.
“
Saat kau terjaga, aku juga akan selalu terjaga
Bahkan sekalipun kau terlelap, aku masih akan tetap terjaga
Kau tahu kenapa?
Karna kau lah orang yang kucinta
Nafasku akan berhenti, disaat nafasmu kelak berhenti
Jujur, bukannya aku terlalu berlebih
Hanya saja, kau begitu berarti
Kau akan selalu menjadi renunganku
Menjadi siang dan malamku
Kau tahu, cara membuatku merasa bahwa aku memiliki hati
Jadi, jika kau bertanya padaku kapan aku akan meninggalkanmu sendiri
Kupastikan, itu tak akan pernah terjadi
“
Kuakhiri permainanku. Kupalingkan
wajahku ke dia. Wajahnya masih saja sama seperti diawal tadi. Aku beranjak, berjalan
perlahan kearahnya. Aku berlutut didepannya, dan menggenggam tangannya. Kami
bertatapan. Dia mengecup keningku. Kembali kurasakan getaran hangat itu telah
kembali ke tubuh ini, getaran yang selama ini tak bisa kudapat, saat dia tidak
ada disisiku.
Kami kembali bertatapan, dan dia
tersenyum kepadaku. Aku meninggalkan dunia untuk seketika. Itu adalah senyum
pertamanya, setelah lama tak jumpa. Aku memeluknya erat.
“Semua tak kan berubah, semua akan
terasa sama.”, bisikku.
Dia mengangguk kecil. Aku sangat
senang melihatnya seperti itu. Aku kembali duduk disampingnya, dan dia rebahan
dalam pelukanku. Suasana kembali hening.
Butuh waktu lama bagiku untuk
menyadari, dia telah tertidur. Cahaya remang diruangan itu lebih dari cukup
untuk aku bisa menatap indahnya wajahnya yang mulai terlihat kembali ceria
seperti sediakala.
Aku terus manatapnya sampai aku
menyadari bundanya Ruru telah berdiri dipintu ruangan tersebut.
“Tolong bawa Lia kekamarnya dong,
Sak”, ucapnya ramah.
“Iya, Tante”, jawabku.
Aku menggendongnya dengan sangat
hati hati, dan membawanya ke sebuah kamar yang penuh dengan nuansa pink, tak
jauh dari ruangan tersebut. Aku meletakkannya di tempat tidur dengan perlahan,
dan menyelimutinya.
Sebuah kecupan hangat diubun ubunnya
membawaku pergi dari ruangan itu, bergegas pulang.
“Sak, ada waktu? Tante mau bicara”, kata
bundanya Ruru mengagetkanku dari pintu kamar tersebut.
“I..ya Tante, ada apa?”, jawabku
gugup.
“Begini”, bukanya sambil mulai
menitikkan air mata. “Umur Lia gak akan lama lagi. Memang, kemarin kami sudah
ke Jerman untuk cangkok jantung. Namun, jantung barunya ternyata juga
bermasalah. Butuh waktu yang lama lagi, untuk mencari jantung baru untuknya.
Dan, kata dokter yang menanganinya, jantung yang sekarang berdetak di dada Lia,
tak mampu menahan kehidupannya selama itu. Gak lama lagi, Lia akan lewat,
Sak.”, jelasnya.
Mendengar itu, tak ada sepatah kata
pun terucap dari bibirku. Hatiku teriris, sakit. Aku menangis di depan bundanya
Ruru.
“Kamu cinta dia kan, Sak?”,
sambungnya.
Aku hanya mengangguk kecil.
“Kalau gitu, buatlah detik detik di akhir hidupnya menjadi saat paling membahagiakan yang pernah dia rasakan”, kata bundannya Ruru sambil tersenyum datar kepadaku, seolah mencoba menutupi bahwa hatinya juga sangat hancur menghadapi kenyataan dia akan kehilangan anaknya yang bak bidadari dari surga, indah dan sempurna.
Bundanya Ruru mengelus pundakku, kemudian pergi
meninggalkanku. Terdengar olehku isak tangisannya. Aku hanya berdiri terpaku,
mencoba tegar mengahadapi kenyataan ini.
0 komentar:
Posting Komentar